Wanita hamil dan menyusui ketika menjalankan puasa ramadhan puasa berbeda-beda keadaannya, ada yang menjalankannya dengan mudah ada pula yang fisiknya tidak kuat. Dan perlu diketahui juga bahwa keadaan hamil ataupun menyusui bukanlah termasuk udzur yang memperbolehkan seorang wanita untuk berbuka pada siang bulan ramadhan kecuali jika takut akan keadaan dirinya dan janin atau anaknya. Yang menjadi persoalan adalah apakah kita harus mengqodo’nya atau cukup dengan membayar fidyah.
Ada 3 keadaan dalam hal ini Al Jasos menceritakan dalam kitab Ahkamul Qur’an tentang perbedaan pendapat para sahabat dalam masalah ini : “ Para salaf telah berselisih pendapat di dalam hal ini atas 3 pendapat, Ali bin Abi Tholib berkata bahwa untuk orang yang hamil dan menyusui harus mengqodho’ jika ia berbuka, dan tidak perlu fidyah, Ibnu Abbas berkata : bagi mereka membayar fidyah tanpa qodho’ dan Ibnu Umar berpendapat harus membayar fidyah dan mengqodho’”.
Pertama : Cukup Dengan Mengqodho’ Saja.
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan di dalam kitab al majmu’, “Para sahabat kami (ulama Syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang hamil dan menyusui, apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya, maka dia berbuka dan mengqadha. Tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit dan semua ini tidak ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah). Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan dirinya dan anaknya, maka sedemikian pula (hendaklah) dia berbuka dan mengqadha, tanpa ada perselisihan (di antara Syafi’iyyah).’”
Para ulama yang berpendapat cukup dengan mengqodho’ saja, menggunakan hujjah bahwa orang hamil itu sama seperti seorang yang sakit dan musafir, berdasarkan hadits :
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاةِ ، وَالصَّوْمَ ، وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla telah membebaskan setengah kewajiban shalat bagi musafir, dan kewajiban puasa bagi musafir, ibu hamil dan wanita yang menyusui.” H.R Ibnu Majah
Kedua : Cukup Dengan Membayar Fidyah Saja.
Keadaan ini terkhusus bagi seorang ibu yang kuat untuk melakukan puasa namun khawatir akan keadaan anak atau janinnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas radiyallahu anhu. Beliau menerangkan tentang ayat WA ‘ALALLADZII YUTHIIQUUNAHU FIDYATUN THA’AAMU MISKIIN (dan bagi orang yang berat menjalankanya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin), ia berkata:
Hal tersebut merupakan keringanan bagi laki-laki tua dan wanita tua, dan mereka -sementara kedua mampu melakukan puasa- agar berbuka dan memberi makan setiap hari satu orang miskin, dan keringanan bagi orang yang hamil dan menyusui apabila merasa khawatir. Abu Daud berkata; yaitu khawatir kepada anak mereka berdua, maka mereka berbuka dan memberi makan.” H.R Abu Daud
Ketiga : harus mengqodho’ dan membayar fidyah.
Keadaan ini juga jika seorang ibu mampu untuk berpuasa namun ia khawatir akan keadaan anak atau janinnya sehingga ia berbuka di siang ramadhan. Dan ini adalah pendapat imam Syafi’I dan Imam Ahmad.
Untuk memberikan kesimpulan kami bawakan dua pendapat ulama agar permasalahan ini semakin jelas.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah ketika menjelaskan perselisihan ulama mengenai puasa wanita hamil dan menyusui, beliau mengatakan,
فمنهم من ذهب إلى أنهما تفطران وتطعمان وتقضيان من هؤلاء سفيان ومالك والشافعي وأحمد ، ولا أعلم لهذا الفريق دليلا من الكتاب والسنة
“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodho’ puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Aku tidak mengetahui adanya dari Al Kitab (Al Qur’an) dan As Sunnah mengenai pendapat ini.”
Ibnu Hajar dalam Al Fath ketika menjelaskan riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa wanita yang hamil atau menyusui cukup hanya dengan membayar fidyah, beliau menerangkan,
هَذَا مَذْهَب اِبْن عَبَّاس ، وَخَالَفَهُ الْأَكْثَر ، وَفِي هَذَا الْحَدِيث الَّذِي بَعْده مَا يَدُلّ عَلَى أَنَّهَا مَنْسُوخَة
“Inilah yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas, namun qiro’ah ini diselisihi oleh kebanyakan ulama. Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”
Wallahu a’lam
No Comments