Oleh: Abu Athif, Lc. -غفر الله له ولوالديه-
Meneguhkan iman dan mengokohkan jiwa di atas jalan Allah ﷻ adalah amalan besar dan bernilai tinggi di sisi Allah ﷻ. Tidak heran jika Allah ﷻ memberikan balasan sangat besar bagi hambaNya yang terus istiqomah menjaga keteguhan iman dan kekokohan jiwa dalam ketaatan kepada-Nya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya:
﴿لَكِنِ الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلَاةَ وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا﴾ -(النساء: ۱٦۲)-
Artinya : Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar. [QS. Al Nisa: 162]
Bukan perkara mudah dalam menjaga vitalitas iman dan jiwa di tengah gempuran fitnah syahwat dan syubhat di akhir zaman. Gambaran perjuangan berat dalam menjaga keteguhan iman dan jiwa terdeskripsikan dalam sebuah hadits Nabi ﷺ:
إنَّ مِنْ ورائِكُمْ أيامَ الصبرِ الصبرُ فيهِنَّ كَقَبْضٍ علَى الجمْرِ لِلْعَامِلِ فِيهَا أَجْرُ خَمْسِينَ قالوا يا رسولَ اللهِ أجْرُ خمسينَ منهم أَوْ خمسينَ مِنَّا قال خمسينَ مِنْكُمْ (رواه الهيثمي).
Artinya: “Sesungguhnya di belakang kalian (setelah sepeningal kalian) adalah hari-hari kesabaran. Kesabaran di masa itu seperti menggenggam bara api. Orang yang beramal di masa itu mendapatkan balasan lima puluh kali”. (Para Sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, apakah lima puluh kali balasan dari mereka atau dari kita?” beliau menjawab: “lima puluh kali dari kalian”. [HR. Haitsami]
Seperti menggenggam bara api, demikianlah deskripsi orang yang berusaha menjaga keteguhan iman dan kekuatan jiwa di zaman penuh fitnah. Itulah ujian iman di akhir zaman. Rusaknya zaman dan buruknya perilaku sebagian besar manusia tidak membuat diri seorang hamba melebur dan mencair serta tenggelam dalam arus kejahiliyahan. Akan tetapi berusaha sekuat tenaga menjaga prinsip iman dan keluhuran jiwa.
Dalam kenyataannya, tidak dipungkiri bahwa setiap hamba pasti pernah merasakan naik dan turunnya iman. Semangat untuk senantiasa taat kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ mengalami fluktuasi. Hentakan dan gejolak syahwat serta nafsu yang menggelora, ditambah lagi faktor eksternal yang kerap kali menghadang, sering kali menjadikan jiwa terasa lemah tak berdaya. Lantas bagaimana kita bisa menjaga kekuatan dan ketegaran jiwa di atas iman? Al Quran dan al Hadits sebagai pedoman hidup setiap muslim telah memberikan arahan dan bimbingan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Setidaknya ada lima perkara yang bisa membantu seorang hamba dalam menjaga keteguhan jiwa agar tetap istiqomah di atas iman dan islam hingga akhir hayat nanti. Kelima perkara tersebut tersurat secara eksplisit dalam sebagian ayat al Quran dan hadits Nabi ﷺ.
Pertama, mendekatkan diri kepada al Quran. Karena al Quran adalah sumber hidayah dan pedoman kehidupan bagi hamba yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat. Perihal ini disebutkan secara gamblang dalam Al Quran ketika Allah hendak meneguhkan hati Nabi Muhammad ﷺ dalam menghadapi serangan propaganda yang dibawakan oleh kaum kafir. Allah ﷻ berfirman mengisahkan tentang hal itu:
﴿وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا﴾ -(الفرقان: ۳۲)
Artinya: “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar)”. [QS. Al Furqan: ayat 32]
Orang-orang kafir dari kalangan musyrikin Quraisy dan Yahudi mencoba untuk menebarkan keraguan akan kebenaran wahyu (Al Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ dengan isu bahwa al Quran bukan wahyu dari Allah ﷻ. Propaganda mereka dibangun dengan narasi; kalaulah Al Quran wahyu dari Allah seharusnya langsung turun sekaligus secara keseluruhan sebagaimana turunnya kitab-kitab samawi terdahulu (Taurat, Zabur dan Injil).
Tentu saja serangan propaganda ini memberikan efek negative yang besar pada entitas kaum muslimin pada saat itu. Sasaran utamanya adalah meruntuhkan legitimasi kenabian atau kerasulan dan yang kedua hilangnya keimanan kepada wahyu. Mengingat besarnya dampak keburukan yang akan timbul dari narasi ini maka turunlah ayat ini sebagai jawaban atas pertanyaan mengapa al Quran diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Tujuan utama dari turunnya al Quran secara bertahap disebutkan secara eksplisit dalam ayat ini yaitu dalam rangka meneguhkan hati dan jiwa Sang Nabi ﷺ. Allah Dzat Yang Maha Bijaksana mengetahui tentang bahaya, ancaman dan tekanan yang akan dihadapi oleh Nabi-Nya saat menyampaikan risalah-Nya. Oleh sebab itulah wahyu Al Quran diturunkan secara bertahap kepadanya dalam rangka memberikan arahan dan bimbingan dalam menghadapi setiap problematika dakwah. Dengan demikian, Nabi Muhammad ﷺ tidak merasa dirinya berada dalam kesendirian.
Dari sinilah kita bisa mengetahui rahasia di balik keteguhan hati Sang Nabi ﷺ dalam mengemban risalah ilahiyyah selama 23 tahun yang penuh dengan perjuangan, keprihatinan, tekanan, ketertindasan serta pengorbanan dari harta dan jiwa yang tidak sedikit. Maka saat jiwa kita melemah, tidak ada solusi selain dari mendekat kepada Al Quran sebagai sumber penguat jiwa.
Penguat jiwa kedua adalah mempelajari kehidupan para nabi dan rasul. Karena mereka adalah sebaik-baik manusia yang Allah ﷻ hadirkan di atas muka bumi ini untuk menjadi teladan dan pembimbing bagi umat manusia.
Allah ﷻ mengajarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ tentang kisah-kisah para nabi dan rasul sebelumnya agar bisa memperkuat hati dan jiwa di saat terpaan badai penentangan dan penolakan dari para musuh-musuh dakwah. Allah ﷻ sampaikan kepada kita tentang hal itu melalui firman-Nya:
﴿وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ﴾ -(هود: ۱۲٠)-
Artinya: “Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman”. [QS. Hud: ayat 120]
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah mengabarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ kisah-kisah para nabi dan rasul terdahulu bersama umatnya terkait apa yang terjadi dari penentangan, permusuhan dan segala perkara yang ditanggung oleh para nabi dari pendustaan, gangguan dan bagaimana Allah menolong para hamba-Nya dan menghinakan para musuh-Nya, semuanya dalam rangka untuk meneguhkan hati dan jiwa Sang Nabi ﷺ. Agar bisa menjadi teladan bagi Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya.
Dalam konteks ini, seakan-akan Allah hendak menyampaikan bahwa penderitaan dan kesulitan dalam rangka menjaga keteguhan hati dan istiqomah di jalan Allah tidak hanya menimpa diri Nabi Muhammad ﷺ dan kaum muslimin hari ini saja. Melainkan hal serupa juga dirasakan dan dialami oleh para pendahulu dari kalangan para nabi dan juga kaum mukminin pada umat sebelumnya. Dengan izin Allah, mereka pun mampu melewati rintangan dan halangan hingga pada akhirnya mendapatkan kemenangan di sisi Allah ﷻ. Oleh sebab itulah tiada alasan bagi umat Islam hari ini untuk berkeluh kesah dan berputus asa dalam menjalani ujian iman yang serupa dengan umat beriman sebelumnya.
Di dalam ayat ini pula, Allah ﷻ mengabarkan kepada kita salah satu metode pengajaran yang efektif dalam pendidikan mental dan ruhiyyah yaitu metode berkisah. Al Quran adalah sumber kisah-kisah inspiratif yang memberikan pelajaran kehidupan secara komprehensif. Terlebih khusus lagi kisah-kisah tentang hamba-hamba pilihan Allah -para nabi dan rasul- yang memberikan informasi dan inspirasi bagaimana menjalani kehidupan sebagai hamba Allah, melaksanakan tugas risalah serta penanganan masalah-masalah keumatan.
Melalui ayat ini pula, Allah hendak menyadarkan kepada seluruh hamba akan arti penting periwayatan sejarah. Melalui kajian sejarah, manusia diharapkan bisa mempersiapkan dirinya menghadapi problematikan kehidupan yang secara esensial tidak ada perbedaan antara hari ini dengan masa lalu. Dari titik ini pula manusia bisa memahami siklus kehidupan dan perjalanannya yang pada akhirnya akan kembali kepada Allah ﷻ Robb Pemilik semesta alam. Di saat diri seorang hamba menyadari hal ini, keteguhan jiwa dalam menjalani ujian iman akan tumbuh terjaga.
Peneguh jiwa yang ketiga adalah mengamalkan ilmu. Tidak disangkal lagi, bahwa lurusnya kehidupan dan sehatnya jiwa sangat dipengaruhi oleh ilmu yang dimiliki. Karena ilmu adalah nutrisi hati yang paling primer dalam kehidupan ini. Tidak ada hajat hidup yang paling mendesak untuk dicukupi kebutuhannya melebihi dari ilmu. Terlebih lagi ilmu tentang firman Allah ﷻ dan sabda Rasulullah ﷺ. Itulah ilmu yang bisa menghantarkan manusia menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Namun sangat disayangkan, di era dominasi matrealisme seperti saat sekarang ini, ilmu bukan dianggap hal yang mendasar dan mendesak dalam kebutuhan hidup sehari-hari manusia. Sebagian besar dari mereka lebih mementingkan harta benda dari pada ilmu. Kalaupun menuntut ilmu orientasinya hanya sebatas dunia, tidak lebih.
Dalam Islam, ilmu disebut sebagai ilmu ketika membuahkan amalan yang dicintai dan diridhoi oleh Allah ﷻ. Ketinggian ilmu seseorang ditunjukkan dengan bertambahnya rasa takut dan taqwa kepada Allah ﷻ. Hal tersebut dinyatakan dalam firman-Nya:
﴿وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ﴾ -(فاطر: ۲۸)-
Artinya: “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. [QS. Fathir: ayat 28]
Dengan mengamalkan ilmu berarti seorang hamba sedang menaikkan tingkatan taqwanya kepada Allah. Di sinilah alasan mengapa mengamalkan ilmu menjadi peneguh jiwa di atas iman. Bertambahnya ilmu dan amal menjadikan hati semakin kokoh dalam menghadapi rintangan dan kesulitan pada ujian iman. Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya:
﴿وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ أَوِ اخْرُجُوا مِنْ دِيَارِكُمْ مَا فَعَلُوهُ إِلَّا قَلِيلٌ مِنْهُمْ وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا﴾ -(النساء: ٦٦)-
Artinya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. [QS. An Nisa: ayat 66]
Dalam ayat ini, Allah memberitahukan tentang tabiat manusia yang buruk yaitu suka melanggar perintah. Kalaupun mereka diperintahkan hal yang buruk sekalipun seperti bunuh diri atau keluar dari kampung halaman pastilah mereka akan enggan melakukannya. Ketika ayat ini turun, ada salah seorang sahabat berkata: “Kalaulah Allah memerintahkan kepada kami, pastilah kami akan melakukannya, dan segala puji bagi Allah yang telah menjaga kita”. Kemudian perkataan ini sampai terdengar oleh Rasulullah ﷺ maka beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara umatku ada beberapa orang yang keimanannya kokoh dalam hatinya melebihi kokohnya gunung-gunung”.
Jika diamati dari ayat-ayat sebelumnya yang membahas kaum munafik dan orang-orang yang enggan menerima ketetapan dari Rasulullah ﷺ, maka kita dapatkan konteks ayat ini berkaitan dengan keteguhan hati dan iman seorang hamba yang ditunjukkan dan dibuktikan dengan mengamalkan apa yang dianjurkan oleh Allah ﷻ. Hal ini sebagai pembeda antara mukmin dan kafir. Mukmin sejati akan senantiasa taat mengamalkan ilmu, sementara orang kafir amalannya sering menyelisihi ilmunya. Dengan ungkapan lain, tidak sinkron antara ilmu dan amal.
Saat ilmu diamalkan maka buahnya adalah keteguhan jiwa dan iman. Demikianlah yang dinyatakan dalam ayat ﴿وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا﴾. “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)”. Imam al Qurthubi menambahkan penjelasan bahwa kebaikan yang akan didapat bagi sang hamba Ketika mengamalkan ilmunya adalah kebaikan di dunia dan akhirat dan keteguhan di atas kebenaran.
Peneguh jiwa yang keempat adalah doa. Doa adalah inti ibadah. Betapa sering kita dapatkan dalam setiap ritual ibadah mulai dari sholat hingga haji semuanya mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa kepada Allah ﷻ. Karena hakikatnya, kita semua adalah makhluq yang lemah dan memiliki ketergantungan tinggi kepada Allah ﷻ.
Di saat yang bersamaan, Islam mengajarkan kepada kita bahwa doa menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan. Barang siapa yang meninggalkan doa hakikatnya dirinya sedang menuju kepada kebinasaan. Karena salah satu dari kebutuhan primernya terabaikan. Allah tegaskan hal itu dalam firman-Nya:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ﴾ -(فاطر: ۱٥)-
Artinya: “Hai manusia, kamulah yang berkebutuhan kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. [QS. Fathir: ayat 15]
Mengingat bahwa keteguhan jiwa menjadi hajat hidup orang beriman yang paling fundamental, maka seorang hamba seharusnya memperbanyak permohonan permintaan tentang hal ini kepada Allah. Rasulullah ﷺ seorang yang telah terjaga dari salah dan doa (ma’shum) sering kali meminta keteguhan jiwa di atas iman kepada Allah melalui doanya yang diriwayatkan dalam sebuah hadits:
عن أَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ: (يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ)، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آمَنَّا بِكَ، وَبِمَا جِئْتَ بِهِ، فَهَلْ تَخَافُ عَلَيْنَا؟ قَالَ: (نَعَمْ، إِنَّ الْقُلُوبَ بَيْنَ أُصْبُعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ اللَّهِ، يُقَلِّبُهَا كَيْفَ يَشَاءُ) –(رواه الترمذي، وابن ماجه، وأحمد)
Artinya: Dari Anas bin Malik -semoga Allah meridhoinya- berkata: Dahulu Rasulullah ﷺ sering mengucapkan doa “Wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”. Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepadamu dan dengan apa yang engkau bawa, apakah engkau masih mengkhawatirkan (keimanan) kami? Beliau bersabda: “Ya, sesungguhnya hati para hamba berada di antara dua jari dari jari-jari Allah yang mana Dia membolak-balikan sesuai kehendak-Nya”. [HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad]
Doa ini mengisyaratkan bahwa kondisi jiwa dan hati seseorang berada dalam kekuasaan Allah, tidak terkecuali hati para nabi. Oleh sebab itulah beliau selalu melazimi doa ini agar keteguhan jiwa di atas iman terjaga.
Peneguh jiwa yang kelima adalah berteman dengan orang-orang sholih. Pertemanan dan pergaulan menjadi faktor penting dalam perubahan sikap dan perilaku seseorang. Karena lingkungan sekitar memberikan pengaruh terbesar dalam kondisi kejiwaan seorang hamba. Di saat yang bersamaan, pertemanan menjadi indikator baik dan buruknya perangai dan agama seorang hamba. Nabi ﷺ menegaskan hal itu dalam sebuah sabdanya:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخالِلُ. (رواه أبو داود، والترمذي، وأحمد)
Artinya: “Seseorang tergantung pada agama kekasihnya (teman dekatnya), maka hendaklah seseorang dari kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan sebagai kekasih (teman dekat)”. [HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ahmad].
Melihat besarnya pengaruh pergaulan dan pertemanan, maka Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk selalu bersama orang-orang yang senantiasa beribadah kepada Allah di waktu pagi dan malam hari. Allah tegaskan perintah ini dalam firman-Nya:
﴿وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا﴾ -(الكهف: ۲٨)-
Artinya: “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”. [QS. Al Kahfi: ayat 28].
Ayat ini turun berkaitan dengan permintaan beberapa pembesar kaum musyrik Quraisy agar Nabi ﷺ mengkhususkan diri untuk duduk bersama mereka tanpa kaum dhuafa (lemah miskin) seperti Bilal, ‘Ammar, Shuhaib, Khabab dan Abdullah bin Mas’ud. Sembari mereka menyuruh beberapa sahabat nabi tersebut untuk duduk menjauh. Kemudian turunlah ayat yang mulia ini.
Ayat ini memberikan isyarat jelas bahwa duduk berteman bersama kaum beriman meskipun dari kalangan dhuafa adalah lebih dicintai dan diridhoi oleh Allah ﷻ dari pada duduk berteman dengan para pembesar dan orang kaya namun mereka musyrik lagi kafir. Karena pergaulan dan pertemanan dalam Islam dibangun atas dasar kecintaan dan kebenciaan karena Allah. Salah dalam menempatkan kecintaan dan kebencian bisa berakibat fatal yaitu hilangnya iman. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ dalam sebuah haditsnya:
إِنَّ أَوْثَقَ عُرَى الْإِيمَانِ: أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ، وَتُبْغِضَ فِي اللهِ –(رواه أحمد)-
Artinya: “Sesungguhnya ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah”. [HR. Ahmad].
Di samping itu, pada ayat yang mulia ini Allah mengaitkan antara kesabaran dengan pertemanan. Sebuah isyarat penting yang harus difahami bahwa seseorang tidak bisa bersabar di atas keimanannya kecuali dengan bersabar bersama orang-orang yang menyibukkan diri untuk berdzikir kepada Allah. Dalam ungkapan lain, keteguhan jiwa dan kokohnya iman bisa terjaga dengan bersabar membersamai orang-orang sholih. Dari sinilah kita mengerti alasan penting bergaul dengan orang-orang sholih dalam rangka menjaga keteguhan jiwa di atas iman.
Demikianlah lima perkara peneguh jiwa. Semoga Allah ﷻ menganugerahkan kepada kita semua keteguhan jiwa di atas iman dan islam hingga akhir hayat nanti. Aamiin. Hanya Allah ﷻ semata Pemilik Hidayah dan Taufiq.
No Comments