Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولواديه-
Kata Pengantar
Ramadhan ibarat terminal peristirahatan untuk pembekalan ruhani dan jasmani dalam menempuh perjalanan panjang bagi hamba beriman yang sarat dengan hikmah dan pelajaran. Kesempatan emas yang bertabur bonus-bonus pahala menjadi keistimewaan tersendiri di bulan ini. Dibukanya seluruh pintu surga dan dikuncinya seluruh pintu neraka. Ditambah lagi dengan dibelenggunya setan dari kalangan jin memberi sebuah pesan penting bahwa waktu-waktu yang ada di dalamnya menjadi ghonimah bagi kaum mukminin. Rasulullah ﷺ bersabda menggambarkan kondisi Ramadhan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ ، وَيُنَادِي مُنَادٍ : يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ. (رواه الترمذي)
Artinya; Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila masuk awal malam dari bulan Ramadhan setan-setan dan jin-jin pendosa dibelenggu, pintu-pintu neraka pun ditutup dan tidak ada satu pintu pun dibuka, sementara pintu-pintu surga dibuka dan tidak ada satu pintu pun yang ditutup, dan seorang penyeru menyerukan: Wahai para pencari kebaikan bersegeralah datang dan wahai pencari keburukan bersegeralah berhenti. Dan Allah memiliki hamba-hamba yang dimerdekakan dari neraka di setiap malamnya”.[1]
Kepenatan dan keletihan hingga penderitaan dalam perjalanan selama 11 bulan sebelumnya serasa terobati dengan waktu pengisian energi dan bahan bakar di satu bulan ini (Ramadhan). Oleh karenanya seorang musafir tak akan pernah menyia-nyiakan waktu yang tersedia. Dari awal hingga berakhirnya waktu pengisian energi akan dimanfaatkan secara maksimal oleh seorang musafir agar bisa menuntaskan jarak tempuh perjalanan.
Adalah sebuah kerugian besar, jika waktu singkat untuk istirahat dan pengisian energi ini dibuang sia-sia atau tidak dimanfaatkan secara maksimal. Sementara waktu terus berjalan dan perjalanan hidup tetap harus dilanjutkan menuju garis finish masing-masing yang telah Allah ﷻ tentukan.
Tidaklah berlalu hari-hari di bulan Ramadhan melainkan membagi manusia ke dalam dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang memaksimalkan charge ruhani dan keimanan. Adapun golongan kedua adalah orang-orang yang melalaikan dan mengabaikan kebaikan-kebaikan di dalamnya. Indikator keberhasilan pun juga bisa terlihat di akhir-akhir waktunya. Karena penilaian yang paling menentukan keberhasialn suatu amalan adalah di akhirnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ: إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ (Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan penutup akhirnya).[2]
Barang siapa menjelang akhirnya semakin menambah semangat untuk menuntaskan rangkaian ibadah di bulan Ramadhan ini dengan penutupan yang baik, maka boleh jadi pertanda kelulusan dan kesuksesan bagi sang hamba. Sebaliknya, jika di akhir-akhir waktu Ramadhan semakin menunjukkan kelesuan dan pudarnya semangat ibadah, maka bisa menjadi pertanda kegagalan sang hamba dalam meraih kebaikannya.
Tahukah kita tentang amalan yang menjadi indikator keberhasilan seorang hamba dalam menutup rangkaian ibadah di bulan Ramadhan? Jawabannya adalah i’tikaf. Mengapa i’tikaf? Karena i’tikaf merupakan amalan berat yang menjadi puncak di penghujung Ramadhan. Sebuah amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang membersamai beliau serta generasi terbaik sesudahnya.
Ibarat upaya pendakian sebuah puncak gunung, maka i’tikaf sebagai sebuah pos terakhir untuk menuntaskan pendakian hingga sampai ke puncaknya. Duhai meruginya seorang pendaki yang sudah bersusah payah mendaki namun langkah terhenti di pos terakhir. Niat dan mental pun pudar tak menyisakan asa menikmati indahnya pemandangan di puncak gunung.
Amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Nabi ﷺ dan generasi terbaik
Melazimi masjid selama sepuluh hari atau pun lebih di akhir bulan Ramadhan merupakan kegiatan inti dari ibadah yang dinamakan sebagai i’tikaf. Secara bahasa i’tikaf memang bermakna melazimi sesuatu dan menahan diri di atasnya. Adapun secara istilah syar’inya, i’tikaf difahami sebagai aktivitas berdiam diri di masjid yang dilakukan oleh orang tertentu dan dengan cara tertentu dalam rangka ketaatan kepada Allah.[3]
Semenjak disyariatkannya puasa bulan Ramadhan di tahun kedua Hijriyah, Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah meninggalkan ibadah i’tikaf. Sebagaimana yang terekam dalam Shohih Bukhori, kitab; al I’tikaf, dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- istri Nabi ﷺ, beliau berkata: “Adalah Nabi ﷺ senantiasa beri’tikaf selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sesudahnya”.[4]
Besarnya keutamaan malam-malam akhir bulan Ramadhan mendorong keseriusan Nabi ﷺ dalam menghidupkan malam-malamnya. Sebagaimana yang dituturkan sendiri oleh ummul mukminin ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ; “Apabila telah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi ﷺ mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya”.[5]
Bahkan di tahun mendekati wafatnya, Nabi Muhammad ﷺ menjalani i’tikaf selama 20 hari[6]. Hal ini memberikan sebuah pesan dan pelajaran penting bahwa i’tikaf adalah amalan bernilai besar di sisi Allah ﷻ. Meskipun beliau telah diampuni dosa-dosa sebelum dan sesudahnya, beliau tetap berusaha menunaikannya.
Pesan dan pelajaran penting ini pun ditangkap oleh para sahabat dan generasi terbaik sesudahnya. Abu Sa’id –semoga Allah meridhoinya- mengkisahkan pengalaman beliau beri’tikaf bersama Nabi ﷺ: “Dahulu kami pernah beri’tikaf bersama Rasululloh ﷺ di 10 pertengahan Ramadhan, kemudian beliau keluar pada pagi hari di hari ke-20 lalu menyampaikan khutbahnya kepada kami, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya aku pernah diperlihatkan malam kemuliaan (lailatul qodr) kemudian aku lupa, maka carilah malam tersebut di sepuluh hari terakhir yang ganjil. Dan sesungguhnya aku pernah mendapati diriku sujud di air dan lumpur. Maka barang siapa yang ingin beri’tikaf bersamaku hendaklah mereka kembali (beri’tikaf)”. Lalu kami pun kembali beri’tikaf, dan kami tidak melihat naungan di langit. Kemudian datanglah awan, lalu turunlah hujan hingga membasahi atap masjid yang pada saat itu terbuat dari pelepah kurma, dan kemudian didirikanlah sholat, maka aku melihat Rasululloh ﷺ sujud di air dan lumpur, hingga aku melihat bekas lumpur di keningnya.[7]
Wahana mengasah jiwa
Di antara banyak hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam ibadah i’tikaf adalah sarana untuk muhasabah dan mengasah jiwa. Sebagaimana difahami oleh hamba beriman bahwa manusia terdiri dari dua unsur; yaitu ruh dan jasad, dan dari keduanya yang memiliki peranan vital dalam menentukan baik dan buruknya seseorang adalah dari ruhnya.
Ruh, hati, jiwa maupun akal adalah istilah yang mewakili unsur gaib dalam diri manusia. Adapun jasad sejatinya hanya mengikuti perintah dan kehendak hati. Maka tidak mengherankan jika hati ataupun ruh dianggap sebagai rajanya anggota tubuh. Hal tersebut didasarkan atas hadits Nabi ﷺ:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal darah, apabila ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah bah segumpal daging yang dimaksud adalah hati”. [HR. Bukhori]
Imam Ibnu Qoyyim –rohimahulloh– menyatakan bahwa kebaikan dan istiqomahnya hati terjadi jika selalu berada di atas jalan menuju kepada Allah ﷻ. Saat hati mengalami kegelisahan dan kerapuhan maka tidak ada metode dan jalan lain kecuali dengan bergegas menuju kepada Allah ta’ala secara totalitas. Sejatinya berlebihan dalam urusan makan-minum, dalam urusan bicara dan tidur bisa memjadi penyebab bertambahnya kegelisahan dan kerapuhan hati.[8]
Rentannya hati manusia dengan kegelisahan dan kerapuhan, maka hadirlah syariat i’tikaf dalam rangka untuk menguatkan dan mengokohkannya. Tidak dipungkiri bahwa manusia tercipta sebagai makhluk yang lemah dan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada selainnya. Maka ketika problematika datang menghampirinya, sering kali jiwa seorang hamba mengharapkan adanya sandaran yang bisa membantu menyelesaikan urusan hidupnya. Dari sisi inilah, i’tikaf hadir untuk menyegarkan kembali ingatan manusia bahwa hidup mereka hanya bisa disandarkan kepada Allah ﷻ Dzat Pencipta alam semesta.
Lebih lanjut lagi, beliau (Imam Ibnu Qoyyim) menegaskan; disyariatkannya i’tikaf karena tujuan utamanya adalah untuk membangun komitmen hati di atas syariat Allah, mengumpulkannya dengan Allah, berkholwah (menyendiri) dengan Allah, memutuskan kesibukan dengan makhluk dan menyibukkan diri dengan Kholiq semata. Karena perkara itu semua menjadikan hati selalu ingat dan cinta kepada-Nya.[9]
Dalam i’tikaf seorang hamba diajak untuk lebih fokus memikirkan akhiratnya. Karena seorang hamba rela untuk meninggalkan hiruk pikuk dunia dan kesibukan duniawinya demi melazimi rumah Allah (masjid) selama beberapa hari. Sungguh i’tikaf menjadi amalan pembuka pintu-pintu langit yang bisa memberikan perubahan positif dalam diri seorang hamba.
Antara i’tikaf dan ribath
Ribath merupakan amalan agung bernilai tinggi dalam Islam. Karena fungsinya untuk menjaga wilayah teritorial kaum muslimin dari serangan musuh. Tidak diragukan lagi bahwa ribath adalah bagian dari amaliyah jihad fii sabilillah. Puncak amalan tertinggi dalam Islam.
Satu hal yang menjadikan ribath amalan agung dalam Islam adalah tuntutan melazimi suatu tempat demi penjagaannya. Dibutuhkan komitmen kuat dan dedikasi tinggi agar tidak mudah bosan dalam menjalaninya. Seringnya dalam ribath tidak langsung berhadapan dengan musuh secara fisik, namun yang ada adalah kesiapan untuk penjagaan dan kewaspadaan. Sangat dimungkinkan terjadinya kebosanan dan keteledoran. Oleh sebab itulah Nabi ﷺ memberikan penjelasan tentang keutamaan ribath melalui sabdanya:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيْرٌ مِن الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَالرَّوْحَةُ يَرُوحُهَا الْعَبْدُ فِي سَبِيلِ اللهِ ، أَوِ الْغَدْوَةُ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا.-رواه البخاري-
Artinya: Dari Sahl bin Sa’d al Sa’idi –semoga Allah meridhoinya-, bahwa Rasululloh ﷺ telah bersabda: “Ribath satu hari di jalan Allah lebih baik dari pada dunia dan apa yang ada di atasnya, dan tempatnya cemeti salah seorang dari kalian di surga lebih baik dari pada dunia dan apa yang ada di atasnya, dan bergerak maju di sore hari atau pagi hari di jalan Allah lebih baik dari pada dunia seisinya”. [HR. Bukhori]
Tahukah kita, bahwa ada bentuk ribath di waktu kondisi aman. Ribath dalam kondisi aman adalah i’tikaf. Karena i’tikaf mengikat seorang hamba untuk selalu melazimi masjid sebagaimana seorang mujahid yang mengikat dirinya untuk ribath di suatu front pertempuran.
Terkait khusus dengan i’tikaf, ada aktivitas yang dinilai oleh Nabi ﷺ sebagai ribath yaitu menanti-nanti dari satu waktu sholat menuju ke waktu sholat berikutnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ dari sahabat Abu Huroiroh –semoga Allah meridhoinya- :
« أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ » -رواه مسلم-
Artinya: “Maukah kalian aku tunjukkan perkara yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?” para sahabat pun menjawab: tentu wahai Rasululloh. Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudlu dalam kondisi yang tidak disenangi, memperbanyak langkah menuju masjid dan menanti waktu sholat ke sholat berikutnya. Maka itulah ribath”.[10]
Di sinilah korelasi antara ribath dan i’tikaf. Keduanya merupakan aktivitas melazimi suatu tempat. Saat ribath, maka tempat yang dilazimi adalah pos-pos penjagaan. Sementara i’tikaf, tempat yang dilaziminya adalah masjid. Keduanya disunnahkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah ﷺ, dari tilawatil Quran hingga amalan-amalan lainnya demi menguatkan jiwa dan mengokohkan pendirian.
Dari ibadah i’tikaf inilah, Nabi ﷺ hendak mengajarkan kepada kaum mukminin keteguhan hati dalam perjuangan memenangkan agama Allah sebagaimana ribath dan jihad. Bermula dari i’tikaf akan tumbuh kecintaan terhadap mati syahid di jalan Allah. Karena dalam i’tkaf diajarkan pengorbanan demi menggapai kecintaan Ar Rohman. Inilah salah satu dari rahasia di balik kesuksesan generasi terbaik umat ini menjadi penguasa dan penakluk dunia.
Menjemput lailatul Qodr
Lailatul Qodr merupakan motivasi terbesar dalam menjalankan ibadah i’tikaf. Malam pilihan Allah yang didalamnya diturunkan anugerah petunjuk bagi seluruh manusia. Malam yang penuh keberkahan. Karena Al Quran yang menjadi pedoman hidup dan sumber hukum bagi kaum mukminin diturunkan. Allah berfirman:
﴿حم (1) وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ (2) إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ (3) فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ (4) أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ (5) رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (6)﴾ –الدخان-
Artinya: Haa Miim. Demi Kitab (Al Quran) yang jelas. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yan penuh hikmah. (Yaitu) Urusan dari sisi Kami. Sungguh, Kamilah yang mengutus para rasul. Sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [QS. Ad Dukhon: 1 – 6]
Dari rangkaian malam dalam satu tahun, hanya malam lailatul qodr yang memiliki nilai lebih baik dari pada seribu bulan, sebagaimana firman Allah ﷻ; “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemulian (lailatul qodr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Keselamatan (malam itu) sampai terbit fajar. [QS. Al Qodr: 1-5]
Satu malam yang kebaikannya melebihi dari 83 tahun. Sungguh kelipatan kebaikan yang luar biasa. Sebagai sebuah analogi, jika ada orang ditawari suatu pekerjaan baik dan terpuji hanya dalam waktu semalam saja, namun mendapatkan gaji besar senilai –misalnya saja- Rp 100.000.000 kemudian dikalikan seperti orang yang sudah bekerja selama 1000 bulan, adakah orang yang menolak tawaran pekerjaan itu?! Pastinya dengan sifat transaksional yang melekat pada tiap pribadi manusia akan menerima tawaran tersebut. Tentunya apa yang dijanjikan oleh Allah jauh lebih baik dan lebih besar bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha menggapai kecintaan-Nya.
Oleh sebab itu, Nabi ﷺ serius memotivasi para sahabatnya dan umatnya untuk menggapai keutamaannya sejak awal bulan Ramadhan datang menjelang. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَمَّا حَضَرَ رَمَضَانُ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ، افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا، فَقَدْ حُرِمَ ”
Artinya: Dari Abu Huroiroh ia berkata: ketika Ramadhan hadir, Rasulullah ﷺ bersabda: “Sungguh telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang barokah, Allah telah mewajibkan atas kalian berpuasa, seluruh pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Di dalamnya ada satu malam yang lebih baik dari pada seribu bulan, barang siapa tidak bisa mendapatkannya maka sungguh dirinya benar-benar tidak mendapatkannya”.[11]
Demi menggapai keberkahan malam inilah Nabi ﷺ dan para sahabatnya meningkatkan semangat beribadah dengan menjalankan i’tikaf dan menghidupkan malam-malam terakhir Ramadhan. Karena lailatul qodr hanya terdapat di dalamnya.
Dari motivasi besar inilah, seorang Imam besar seperti Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i –rohimahulloh- bersungguh-sungguh dalam berinteraksi dengan Al Quran selama Ramadhan hingga mengkhatamkannya sebanyak 60 kali[12]. Bagaimana dengan kita ?!
Andai i’tikaf ini terakhir bagi kita
Hal yang pasti terjadi dalam kehidupan ini adalah kematian. Umur seorang hamba akan berkahir. Namun hal terpenting yang harus dipikirkan oleh seorang hamba adalah bagaimana pahala amal sholih tetap mengalir.
Terbatasnya ajal yang telah Allah ﷻ tentukan bagi setiap hamba-Nya, sejatinya menjadi motivasi kuat untuk selalu berpikir dan berusaha demi mempersembahkan prestasi terbaik dan bermanfaat. Sempit dan sedikitnya waktu, haruslah menjadikan seorang hamba selalu berfikir prioritas amalan yang bisa memberikan manfaat bagi kehidupannya di dunia dan akhirat.
Kita semua harus faham, bahwa semua pekerjaan ataupun amal sholih tidak bisa dikerjakan dalam satu waktu. Begitu juga semua waktu tidak selalu bersesuaian dengan amalan pekerjaan yang kita lakukan. Antara waktu dan amalan haruslah disesuaikan dan diselaraskan sesuai tuntutan kondisi. Tentang upaya memilih amalan utama mana yang menjadi prioritas dalam suatu waktu, maka Imam Ibnu Qoyyim al Jauziyah –rohimahulloh– memberikan penjelasannya:
إن أفضل العبادة العمل على مرضاة الرب في كل وقت بما هو مقتضى ذلك الوقت ووظيفته فأفضل العبادات في وقت الجهاد الجهاد وإن آل إلى ترك الأوراد من صلاة الليل وصيام النهار بل ومن ترك إتمام صلاة الفرض كما في حالة الأمن …
Artinya: “Sesungguhnya ibadah yang paling utama adalah suatu amalan yang didasarkan atas keridhoan Robb di setiap waktu yang menjadi tuntutan untuk dikerjakannya tugas tersebut, maka (dalam hal ini) ibadah yang paling utama di saat jihad adalah jihad itu sendiri meskipun berdampak meninggalkan wirid-wirid dari sholat malam dan puasa di siang harinya bahkan meninggalkan penyempurnaan bilangan sholat sebagaimana waktu kondisi aman…”[13]
Ketika akhir Ramadhan datang menjelang, maka tidak ada suatu amalan yang paling dijaga oleh Rasulullah ﷺ selain dari pada i’tikaf. Kesibukan beliau dalam mengemban risalah dan nubuwah serta sebagai pemimpin umat tidak menghalangi beliau untuk fokus beri’tikaf. Justru beliau menjadi teladan dalam masalah ini. Beliau ﷺ menggerakkan seluruh anggota keluarganya bermujahadah di waktu malam terbaik sepanjang tahun (yaitu 10 hari terakhir Ramadhan). Dari mulai istri-istri beliau hingga seluruh anak dan menantu dibangunkan demi mendapatkan kemuliaan dan keutamaan lailatul qodr.
Imam Bukhori –rohimahulloh– memberikan judul bab dalam shohihnya berupa “amalan di sepuluh terakhir dari Ramadhan” yang isinya menggambarkan amalan Nabi ﷺ berupa mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.[14]
Pesan penting dari hadits ini adalah ibadah yang paling utama untuk dikerjakan di sepuluh hari terakhir dari Ramadhan adalah i’tikaf. Karena i’tikaf menjadi sarana menggapai lailatul qodr. Dikuatkan pula dengan hadits lainnya yang menyebutkan bahwa Nabi ﷺ juga tidak pernah meninggalkan i’tikaf hingga wafatnya beliau.
Dari sini, kita harus berpikir untuk merencanakan suatu hal yang besar bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat. Tidak ada yang tahu tentang ajal kita masing-masing melainkan hanya Allah ﷻ semata. Boleh jadi ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita. Jangan sampai salah dan jangan sampai terlambat dalam menentukan agenda kegiatan di akhir Ramadhan ini. Bagi seorang muslim mengikuti sunnah Nabi ﷺ menjadi ambisi dalam dirinya.
Betapa indahnya akhir kehidupan seorang mukmin, ketika dirinya menutup amalan dengan sebaik amalan di waktu yang terbaik. Allohumma Yaa Robb… anugerahkan kepada kami penutup amalan terbaik. Boleh jadi, i’tikaf di Ramadhan tahun ini menjadi i’tikaf terakhir bagi kita. Wallohu a’lam bis showab.
[1] HR. Tirmidzi
[2] HR. At Thobroni dalam al Mu’jam al Kabir
[3] Abdullah bin Abdur Rohman al Bassam, Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom, (Kairo: Janatul Afkar, cetakan pertama, tahun 1428 H) juz 2, hal 614
[4] HR. Bukhori dan Muslim
[5] HR. Bukhori,
[6] HR. Bukhori, Kitab: Al I’tikaf, Bab: al I’tikaf fii al ‘asyri al ausath min Ramadhan, nomor hadits 2044
[7] HR. Bukhori, Kitab: Fadhl Lailatil Qodr, Bab: Iltimas lailatil qodri fii al sab’i al awakhir, nomor hadits 2016
[8] Ibnu Qoyyim al Jauziyah, Zaadul Ma’aad fii Hadi khoiril ‘ibaad (Daar Ibnu Rojab, cetakan pertama, tahun 1427 H) juz 2 hal 89
[9] Ibid.
[10] HR. Muslim
[11] HR. Nasai dan Ahmad
[12] Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz Dzahabi, Siyar A’laam na Nubalaa’ (Muassasah Al Risalah) juz 10 hal 24
[13] Ibnu Qoyyim al Jauziyah, Madarijus Salikin baina Manazil iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (Beirut: Daar al Kitab al arobi, cetakan ketiga, tahun 1393 H) juz 1, hal 88
[14] Shohih Bukhori, Kitab: Fadhlu Lailatil Qodr, Bab (5): al ‘amal pil ‘asyril awakhir min Ramadhan, no: 2024
No Comments