Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولواديه-
Dalam Shohih Muslim disebutkan tentang salah seorang dari kalangan Bani Israil yang telah melakukan tindakan kejahatan berupa membunuh 99 orang. Akhirnya tindakannya ini membuat dirinya gelisah dan berujung pada peyesalan yang mendalam. Niatan untuk bertaubatpun muncul dalam dirinya. Dia pun bertanya-tanya kepada orang-orang tentang siapakah gerangan yang tepat untuk membimbing taubatnya. Penduduk di sekitarnya pun menunjukkan kepada seorang rahib yang rajin beribadah. Setelah bertemu dengannya, sosok laki-laki tadi bertanya kepada rahib tersebut; “Apakah aku masih memiliki kesempatan untuk bertaubat sementara aku telah membunuh 99 orang?” Maka sang rahib menjawab: “Engkau tidak memiliki kesempatan taubat karena telah membunuh 99 orang”. Mendengar jawaban rahib, sosok laki-laki itu langsung naik pitam dan tidak menerima dengan jawabannya. Akhirnya sang rahib dibunuh olehnya. Maka genaplah sudah menjadi 100 orang yang menjadi korban pembunuhan oleh tangannya.
Setelah kejadian itu, hati pembunuh tadi bergejolak lagi disertai penyesalan tiada henti. Niatan untuk bertaubatpun muncul kembali. Dia pun bertanya-tanya kepada siapakah gerangan orang yang tepat untuk membimbing dirinya bertaubat. Akhirnya orang-orang yang ada di sekelilingnya menunjukkan kepada seorang ‘alim (berilmu). Dia pun bergegas menghampirinya. Setelah berjumpa, dia pun langsung menyampaikan penyesalannya dan niatannya untuk bertaubat seraya berkata: “Apakah bagiku masih ada kesempatan bertaubat? Sang ‘Alim pun menjawab: “Iya, kamu masih memiliki kesempatan bertaubat”. Mendengar jawaban ini lelaki tadi pun bergembeira. Sang ‘Alim pun memberikan sebuah arahan agar dirinya berpindah dari tempat tinggalnya yang lama menuju tempat baru yang di sana terdapat orang-orang yang senantiasa menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Tanpa berpikir panjang, lelaki tadi menuruti arahan dan perintah sang ‘Alim.
Di tengah jalan dalam upaya kepindahannya menuju tempat yang baru, sosok lelaki pembunuh yang ingin bertaubat tadi akhirnya meninggal dunia. Malaikat adzab dan malaikat rahmat pun berebut ingin mengambilnya. Malaikat adzab berkata: “orang ini adalah bagianku karena dia adalah pendosa dan belum melakukan suatu kebaikan sedikitpun”. Sementara malaikat rahmat pun berkata: “Sesungguhnya orang ini telah bertaubat”. Kemudian Allah ﷻ mengutus seorang malaikat untuk menengahi perkara ini. Jalan tengahnya adalah mengukur jarak perjalanan lelaki tersebut. Jika dirinya masih dekat dengan tempat asalnya maka ia menjadi bagian malaikat adzab. Dan jika dirinya lebih dekat dari tempat tujuan taubatnya maka ia menjadi bagian malaikat rahmat. Akhirnya mereka mendapati bahwa lelaki tadi lebih dekat sejengkal ke tempat tujuan taubatnya. Maka dirinya mendapatkan ampunan dari Allah ﷻ.
Dari sepenggal kisah ini kita bisa mengambil sebuah pelajaran penting bahwa keberhasilan hamba yang ingin bertaubat sangat bergantung kepada siapa orang yang tepat untuk memberikan bimbingan. Dalam hal ini tidak ada orang yang tepat untuk bisa memberikan bimbingan terbaik kecuali seorang ‘alim. Melalui bimbingan ‘alim-ulama manusia bisa mendapatkan pencerahan dan jalan kebenaran yang bisa menghantarkan kepada rahmat dan maghfirah (ampunan) dari Allah.
Hajat manusia terhadap ulama dan guru
Dalam kenyataannya tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan paling mendasar dan mendesak yang sejatinya diperlukan oleh manusia adalah ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang berkaitan dengan wahyu-wahyu dari Allah ﷻ (Al Quran dan al Hadits). Dengan ilmu yang mengantarkan pemahaman kepada al Quran dan al Hadits bisa menjaga manusia dari segala keburukan perbuatan dan perilaku mereka yang menjurus kepada kebinasaan diri mereka sendiri. Namun sangat disayangkan hari ini banyak manusia mengabaikan ilmu. Keadaan saat ini sebagai akibat meluasnya pemahaman materialisme. Di mana pikiran manusia terkait dengan kebutuhan primer hanya berkutat pada pangan, sandang dan papan saja tidak sampai pada kebutuhan ruhani berupa ilmu.
Secara jelas Al Quran memberitahukan kepada kita bahwa kehadiran ilmu dalam bentuk petunjuk dari Allah ﷻ adalah anugerah yang dibutuhkan oleh seluruh manusia dan kebahagiaan yang melebihi dari harta benda yang dikumpulkan oleh mereka. Allah berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ﴾ -(يونس: ٥۷-٥۸)-
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: ayat 57-58]
Imam Ahmad bin Hanbal –رحمه الله- pernah berkata:
“النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ، وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ”
Artinya: “Manusia lebih membutuhkan ilmu melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum, karena seseorang membutuhkan makan dan minum hanya sekali atau dua kali dalam sehari, sementara kebutuhannya terhadap ilmu adalah setiap hitungan nafasnya”.
Setelah manusia memahami tentang kebutuhan mendasarnya ini, maka timbul pertanyaan siapakah yang mengajarkan ilmu kepada manusia? Jawabannya adalah para nabi dan rasul yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama sebagai pengemban amanah untuk meneruskan penyebaran ilmu kepada seluruh alam.
Dari sinilah Islam senantiasa mengajarkan kepada kita agar hidup tidak boleh jauh dari ilmu dan ulama. Saat hidup jauh dari ilmu dan ulama maka kebinasaanlah yang akan diterima. Nabi Muhammad ﷺ pernah berpesan:
” اغْدُ عَالِمًا أَوْ مُتَعَلِّمًا أَوْ مُسْتَمِعًا أَوْ مُحِبًّا ، وَلَا تَكُنِ الْخَامِسَةَ فَتَهْلِكَ “(رواه الطبراني والبزار)
Artinya: “Berusahalah engkau di pagi hari untuk menjadi seorang ‘alim, atau seorang yang belajar ilmu, atau orang yang mendengarkan ilmu, atau orang yang mencintai ilmu, dan jangan engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan binasa”. [HR. Thabrani dan al Bazzar]
Dalam Islam, mencintai ilmu adalah indikator mencintai kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Adapun mengikuti para ulama adalah sebuah konsekuensi logis dari cinta ilmu dan kebenaran. Karena para ulama adalah pewaris ilmu dari para nabi dan rasul.
Saat manusia jauh dari ulama dan guru
Bisa dibayangkan apa yang terjadi saat manusia jauh dari ilmu dan ulama. Maka bisa diprediksikan bahwa akan terjadi ketimpangan dan kekacauan dalam banyak aspek kehidupan. Dikarenakan hilangnya panduan ilmu kebenaran yang mengajarkan manusia bersikap adil. Kedzoliman akan terjadi di mana-mana. Tindakan kesewenang-wenangan pun acap kali dipamerkan oleh siapa saja yang merasa berkuasa. Penindasan terhadap yang lemah akan sering kali jadi tontonan. Sudah barang tentu kehidupan pun terasa tidak menyenangkan.
Bahkan yang terjadi lebih dari itu. Kebenaran akan diburamkan dan dibungkam. Sementara kebathilan akan dianggap sebagai kebenaran. Pihak yang benar akan dianggap salah. Sementara pihak yang salah akan dianggap benar. Perkara halal bisa diharamkan dan perkara haram bisa pula dihalalkan. Ujungnya, manusia mengalami frustasi dan mencari-cari siapa yang bisa mebimbing kehidupan mereka agar mendapatkan ketenangan, kedamaian dan keadilan.
Di saat keguncangan jiwa menyeruak, manusia akan mencari para ulama. Namun sayangnya mereka tidak mendapatkan ulama robbani. Maka yang terjadi adalah pengangkatan orang-orang bodoh dari kalangan mereka untuk dimintai fatwa. Bisa dipastikan kesesatan terjadi pada kehidupan manusia. Inilah gambaran manusai saat jauh dari ulama yang disampaikan dalam suatu hadits Nabi Muhammad ﷺ:
إنَّ اللَّهَ لا يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ العِبَادِ، ولَكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بقَبْضِ العُلَمَاءِ، حتَّى إذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فأفْتَوْا بغيرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وأَضَلُّوا (رواه البخاري)
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari para hamba, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan diwafatkannya para ulama hingga apabila tidak menyisakan seorang ‘alim niscaya manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai rujukan, maka ketika mereka ditanya lalu mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan”. [HR. Bukhari].
Kedudukan ulama dan penyebar ilmu
Saat peradaban manusia dibangun atas dasar ilmu, maka kecintaan terhadap ilmu akan mendominasi setiap sendi kehidupan. Secara aksiomatik manusia pun akan mencintai para ulama yang hadir di tengah mereka. Karena mereka faham bahwa keberadaan para ulama menjadi pelita kehidupan yang menyinari jalan hidup manusia di zaman yang sudah tidak ada lagi nabi dan rasul seperti saat sekarang ini.
Keberadaan para ulama sebagai penerus estafet dakwah nabi menjadi pondasi kehidupan manusia yang tidak boleh hilang. Saat pondasi ini dihancurkan maka hancurlah tatanan kehidupan yang berkeadilan. Karena di tangan merekalah Allah menitipkan sebuah amanah besar untuk menjaga keotentikan kebenaran agar manusia terjaga dari fitnah syahwat dan syubhat.
Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bagaimana kedudukan dan peranan penting para ulama di tengah umat manusia:
عن أبي الدرداء –رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ : “من سلك طريقًا يطلبُ فيه علمًا ، سلك اللهُ به طريقًا من طرقِ الجنةِ ، وإنَّ الملائكةَ لتضعُ أجنحتَها رضًا لطالبِ العِلمِ ، وإنَّ العالِمَ ليستغفرُ له من في السماواتِ ومن في الأرضِ ، والحيتانُ في جوفِ الماءِ ، وإنَّ فضلَ العالمِ على العابدِ كفضلِ القمرِ ليلةَ البدرِ على سائرِ الكواكبِ ، وإنَّ العلماءَ ورثةُ الأنبياءِ ، وإنَّ الأنبياءَ لم يُورِّثُوا دينارًا ولا درهمًا ، ورَّثُوا العِلمَ فمن أخذَه أخذ بحظٍّ وافرٍ” (رواه أبو داود)
Artinya: Dari Abu Darda –semoga Allah meridhainya- berkata: Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa menapaki jalan dalam rangka mencari ilmu, niscaya Allah perjalankan dia di atas salah satu jalan dari banyak jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat akan merendahkan sayap-sayapnya sebagai bentuk keridhoan untuk para pencari ilmu. Dan sesungguhnya seorang alim akan mendapatkan doa-doa ampunan dari para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan yang ada di kedalaman air. Dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim (ahli ilmu) di atas seorang ‘abid (ahli ibadah) adalah seperti bulan di malam bulan purnama di atas seluruh bintang gemintang. Dan sesungguhnya para ulama adalah para pewaris para nabi. Dan sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak”. [HR. Abu Dawud]
Dari sinilah kita memahami bahwa hadirnya dai, guru ngaji dan para ulama adalah sebuah anugerah terindah dalam kehidupan manusia. Memuliakan mereka adalah keberkahan dan keutamaan. Sementara menghinakan dan mendzolimi mereka adalah petaka dan bencana.
No Comments