Jalan Panjang Pendidikan Islam

11 minutes reading
Friday, 30 Aug 2024 00:31 0 567 admin

Oleh: Abu Athif -غفر الله له ولوالديه-

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Namun sangat disayangkan, masih banyak yang belum sadar tentang hal ini. Anggapan bahwa Pendidikan hanya sekedar pelengkap kehidupan dan tidak menjamin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan gaji yang lebih banyak masih jamak didapatkan di tengah masyarakat. Pemahaman parsial tentang Pendidikan yang sekedar menjadi jalur rekrutmen lapangan kerja agaknya masih menjadi stigma kuat yang menjadi “PR” besar bagi dunia Pendidikan khususnya di negeri ini. Tentu saja pemahaman parsial ini mengkerdilkan aspek pendidikan yang seharusnya menjadi pilar kemajuan peradaban manusia dari zaman ke zaman.

Ibarat perjalanan Panjang, maka pendidikan juga harus membutuhkan perbekalan yang tidak sedikit. Pengorbanan dan dedikasi terbaik harus dikerahkan untuk mencapai hasil terbaik. Namun sangat disayangkan pula bahwa masih banyak di antara masyarakat yang memiliki pandangan sebelah mata terhadap kebutuhan operasional pendidikan. Hal ini bisa dilihat dengan adanya fenomena gaya hidup masa kini yang lebih mengedapankan aksesoris dari pada yang substansial. Misalnya soal gadget dengan harga yang mencapai 3 jutaan untuk masa penggunaan ± 5 tahun dibilang murah. Sementara ketika disodorkan iuran pendidikan bulanan 1 jutaan yang hasil pendidikan bisa digunakan untuk seumur hidup dianggap mahal. Di saat yang bersamaan, uang jajan untuk hang out di restoran bersama kolega selama satu jam yang mencapai 2 jutaan dirasa “worth it”. Namun saat himbauan infaq pendidikan sebesar 1 juta untuk satu bulan dianggap terlalu mahal.

Masih banyak lagi pernak-pernik permasalahan dalam dunia pendidikan yang bisa kita dapati di negeri ini. Jika diamati lebih dalam, salah satu faktor penyebab munculnya anggapan dan sikap kurang perhatian terhadap pendidikan adalah karena kaburnya visi pendidikan. Kaburnya visi pendidikan ini dipengaruhi oleh fenomena pemikiran dan sikap pragmatis serta gaya hidup instan di tengah masyarakat.

Dalam konteks Lembaga pendidikan, sikap pragmatis nampak dalam “haus” pengakuan demi menaikkan “rating” sekolahnya. Usaha mengarah ke sana dilakukan bertujuan mencari dan menarik perhatian orang tua dan murid. Hingga terbentuk pemikiran; semakin banyak murid maka semakin banyak pemasukan dan profit. Tidak mengherankan dalam perjalanannya kasus manipulasi data dan keculasan menghiasi proses ini. Berawal dari “profit oriented” inilah semua elemen pendidikan termasuk di dalamnya guru, orang tua dan murid pun terpengaruh untuk bersikap pragmatis.

Dalam Islam, pendidikan mendapatkan perhatian besar. Bahkan mendapatkan porsi pembahasan terbanyak dalam al Quran dan hadits-hadits Nabi ﷺ. Lebih dari itu, bisa dikatakan bahwa semua isi al Quran dan al Hadits adalah tentang pendidikan. Mendidik manusia untuk bisa hidup bermartabat di alam dunia dan selamat di akhirat.

Islam hadir dalam rangka mencerahkan, menyadarkan dan mendidik manusia tentang esensi kehidupan. Bahwa hidup bukan hanya sekedar mencukupi kebutuhan biologis semata. Namun hidup adalah sebuah misi untuk menunaikan tugas mulia; menjadi kholifah di muka bumi. Ditinjau dari misi besar inilah, kebutuhan manusia terbesar hakikatnya adalah ilmu dan petunjuk. Tidak ada jalan lain untuk bisa memiliki bekal keduanya melainkan hanya dengan proses pendidikan.

Diutusnya Nabi Muhammad ﷺ di Tengah manusia menjadi tanda dan dalil nyata bahwa manusia hakikatnya membutuhkan seorang guru pendidik. Peranan strategis inilah yang mampu menyelamatkan manusia dari kesesatan hidup. Karena konsep Pendidikan dalam Islam bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyah menuju kepada cahaya peradaban yang dibimbing dengan petunjuk wahyu. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah ﷻ :

هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya : “Dialah yang menurunkan kepada hamba-Nya ayat-ayat yang terang (Al-Quran) supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Maha Penyantun lagi Maha Penyayang terhadapmu”. [QS. Al Hadid: 9]

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa hadirnya Nabi Muhammad ﷺ dengan membawa al Quran sebagai bukti-bukti yang jelas dan absolut kebenarannya memiliki tujuan besar yaitu mengeluarkan kehidupan manusia dari kegelapan kebodohan, kekufuran dan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif.[1]

Melihat tujuan besar dari Pendidikan Islam inilah, kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa pendidikan adalah perjalanan panjang yang berujung pada keselamatan manusia di dunia dan akhirat. Dari visi inilah seluruh misi dan upaya dalam pendidikan hendaknya dikerahkan untuk menuju ke sana. Bukan untuk tujuan mencari keuntungan dunia.

Manifestasi dari visi dan pandangan ini seharusnya melahirkan pendidikan yang berorientasi pada ujung perjalanan kehidupan seorang hamba. Dengan ungkapan lain bahwa visi pendidikan haruslah mengarah pada titik akhir kehidupan yaitu akhirat.

Berjalannya proses pendidikan Islami di lingkungan Lembaga pendidikan baik dalam bentuk madrasah maupun pondok pesantren akan berhasil ketika semua elemennya memiliki visi yang yang berorientasi akhirat. Dalam hal ini, empat elemen penting dalam proses pendidikan yaitu guru, murid, orang tua dan Lembaga pendidikan harus memiliki visi dan cita pendidikan yang bukan saja “setinggi langit” namun harusnya sampai “menembus langit”.

Bagi seorang guru, proses pendidikan haruslah melahirkan visi “umur kedua”. Artinya adalah keberlangsungan ilmu yang diajarkan harus bisa menggerakkan roda kemajuan umat hingga lintas generasi. Nabi Muhammad ﷺ telah memberikan keteladanan bagi para guru dalam hal ini. Sejak beliau diangkat menjadi nabi dan rasul maka seluruh hidupnya dikerahkan untuk menjadi guru umat yang focus pada pembangunan kader-kader masa depan.

Dalam kurun waktu 23 tahun, Nabi Muhammad ﷺ telah berhasil menggemparkan dunia dengan lahirnya kader-kader dari kalangan sahabat berkelas internasional. Mulai dari Abu Bakar, Umar bin Khotthob, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Tholib hingga sahabat yunior seperti Usamah bin Zaid, Anas bin Malik dan Jundab bin Abdillah yang telah mampu menunjukkan kiprah mereka dalam merubah dan membebaskan wajah dunia dari kangkangan peradaban dzolim nan jahiliyah menuju peradaban berkeadilan yang penuh cahaya Islam.

Dari zaman ke zaman peradaban Islam selalu melahirkan generasi-generasi tangguh yang mampu menjadi solusi untuk problematika umat di setiap masanya. Sebagai misal dalam hal ini, kita bisa melihat perjalanan Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang tidak terlepas dari peran para ulama selaku “pewaris ilmu nabi”. Mereka berjuang membangkitkan perlawanan menentang penjajah Belanda dengan mendidik umat untuk tidak pernah mau tunduk dengan segala bentuk penjajahan. Hingga hari ini, spirit kebangkitan umat Islam untuk tetap terus berkiprah dalam menjaga peradaban manusia yang lebih berkeadilan dan bermatabat tetap terus membara. Inilah “umur kedua” yang seharusnya menjadi harapan, ambisi dan obsesi bagi setiap guru agar mendapatkan aliran pahala dari ilmu yang diajarkan meskipun nyawa telah berpisah dari raga di kehidupan dunia.

Dalam konteks orang tua sebagai wali murid, seharusnya visi pendidikan yang ditanamkan adalah seperti keteladanan Nabi Ya’qub dalam mendidik anak keturunannya. Sebagaimana yang diabadikan dalam al Quran:

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

Artinya: Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. [QS. Al Baqarah: ayat 133]

Imam al Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bantahan dari Allah ﷻ atas kebohongan dan kedustaan orang-orang yahudi dan Nasrani yang mengklaim sebagai pengikut Nabi Ibrahim. Mereka sengaja menutupi dan mengingkari wasiat dari para nabi dan rasul sebelumnya. Ayat inilah yang menjelaskan keberadaan wasiat Nabi Ya’qub kepada anak ketrurunannya untuk senantiasa beribadah hanya kepada Allah ﷻ sebagai satu-satunya Sesembahan bagi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq.[2]

Pesan penting dari ayat ini adalah keteladanan Nabi Ya’qub sebagai orang tua yang mencoba untuk memastikan di akhir hayatnya tentang apakah anak keturunannya berpegang teguh menjaga iman dan islam ataukah tidak[3]. Perkara inilah yang seharusnya menggelayuti hati dan pikiran seorang ayah dan ibu sebagai wali murid dalam dunia pendidikan.

Melalui ayat yang mulia ini telah jelas apa yang seharusnya menjadi visi pendidikan bagi orang tua. Visi besar bagi orang tua wali murid dalam mendidik anaknya adalah melahirkan generasi sholih-mushlih yang akan senantiasa menjadi amal jariyah baginya. Sebagaimana yang dinasihatkan oleh baginda Nabi ﷺ dalam haditsnya :

إِذَا مَاتَ الإنْسَانُ انْقَطَعَ عنْه عَمَلُهُ إِلَّا مِن ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِن صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو له

Artinya: “Apabila seorang manusia mati maka terputuslah amalan darinya kecuali dari tiga perkara; dari sedekah jariyah, atau ilmu yang bermanfaat atau anak sholih yang senantiasa mendoakannya”. (HR. Muslim)

Setiap orang tua haruslah khawatir dan risau jangan sampai menjadi bagian dari orang tua yang justru menyesatkan anaknya. Hanya karena ambisi mendapatkan masa depan anak yang bercukupan secara finansial, sering pula orang tua terjebak sikap pragmatis. Alih-alih mendidik anak supaya sholih yang terjadi adalah mimpi buruk masa depan yang menghantui. Teguran tentang hal ini tersirat dalam hadits Nabi ﷺ :

كلُّ مولودٍ يولَدُ على الفطرةِ فأبواه يُهوِّدانِه أو يُنصِّرانِه أو يُمجِّسانِه

Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan berada atas kondisi fithroh (Islam) maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya yahudi, atau nasrani atau majusi”. [HR. Bukhori]

Bagi santri ataupun murid sebagai obyek pendidikan, proses belajar seharusnya diarahkan kepada ujung akhir dari perjalanan hidup ini. pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mengarahkan murid kepada keberhasilan dalam ujian terakhir. Ujian terakhir itu adalah di saat sakaratol maut ucapan apa yang akan keluar dari lisannya kelak. Dalam kondisi apa murid nanti menutup akhir dari segala amalannya. Inilah ujian terakhir yang harusnya dipersiapkan sedini mungkin. Mengenai hal ini al Quran telah memberikan rambu-rambunya di antaranya seperti yang difirmankan oleh Allah ﷻ:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. [QS. Ali Imran: ayat 102]

Pendidikan berkualitas bukan hanya melahirkan murid-murid yang cerdas secara kognitif. Namun kualitas pendidikan terlihat dengan visi yang tertanam dalam diri setiap murid. Indicatornya bisa terlihat dalam bentuk dedikasi dan loyalitas untuk memperjuangkan Islam sebagai panduan hidupnya. Tidaklah seorang murid berpikir dan bertindak melainkan syariat Islam menjadi acuan dan pedomannya. Dari sinilah seorang murid akan terarah menuju husnul khotimah.

Dalam konteks Lembaga pendidikan, perjalanan pendidikan yang akan ditempuh seharusnya mengarah pada visi kebangkitan kaum muslimin. Lembaga pendidikan tidak boleh berpikir pragmatis dan bisnis oriented. Seharusnya Lembaga pendidikan menjadi wahana aktualisasi diri bagi para guru pendidik, orang tua dan murid dalam mengejawantahkan prinsip-prinsip syariat Islam.

Masjid Nabawi menjadi teladan bagi semua Lembaga pendidikan Islam dalam hal bagaimana melahirkan generasi-generasi akhirat. Sejak pertama kali dibangun, masjid Nabawi menjadi prototipe pendidikan berbasis taqwa. Dalam sebuah kesempatan Nabi ﷺ menegaskan tentang hal ini ketika ditanya oleh sahabat yang mulia Abu S’aid al Khudri:

 يا رَسولَ اللهِ، أَيُّ المَسْجِدَيْنِ الذي أُسِّسَ علَى التَّقْوَى؟ قالَ: فأخَذَ كَفًّا مِن حَصْبَاءَ، فَضَرَبَ به الأرْضَ، ثُمَّ قالَ: هو مَسْجِدُكُمْ هذا، لِمَسْجِدِ المَدِينَةِ. (رواه مسلم في صحيحه).

Artinya: “Wahai Rasulullah! Manakah dari dua masjid yang dibangun di atas ketaqwaan? Beliau berkata: kemudian beliau mengambil segenggam kerikil kemudian melemparkannya ke tanah, kemudia beliau bersabda: “Masjid itu adalah masjid kalian ini. untuk masjid Madinah”. [HR. Muslim].

Keberhasilan Masjid Nabawi dalam membangun dan mendidik generasi peradaban Islam yang berkarakter pejuang, pemikir, pelopor kebaikan yang berjiwa patriot ditampakkan dengan keberadaan “ahlu Shuffah”. Mereka adalah para sahabat Nabi yang hidup tinggal di masjid Nabawi untuk memperdalam ilmu dan amal Islam. Bukan hanya ahlu Shuffah saja yang menjadi obyek dari pendidikan masjid Nabawi melainkan juga seluruh masyarakat Madinah. Mereka hidup menginggalkan gemerlap kemewahan dunia dan mengabaikan perlombaan mengejarnya demi ambisi besar meraih gelar dan prestasi tertinggi di hadapan Allah ﷻ yaitu taqwa. Sebagaimana firman Allah ﷻ:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. [QS. Al Hujurat: ayat 13]

Melihat kondisi umat Islam hari ini, dari permasalahan local, regional hingga internasional, juga dari problem internal berupa kejahilan terhadap agamanya sendiri hingga problem eksternal seperti menjadi korban keganasan para aggressor kuffar di belahan bumi palestina, sudah seharusnya pengelola Lembaga pendidikan membuat peta jalan ke depan bagaimana terwujudnya generasi islam yang siap mengembalikan kejayaan umat Islam. Goal setting dari rancangan visi dan misi di masa depan seperti yang tersurat dan tersirat dalam firman Allah ﷻ:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

Artinya: “Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi”. [QS. Al Fath: ayat 28].

Imam al Thobari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ di tengah manusia memiliki sebuah misi besar yaitu agar memenangkan Islam di atas seluruh agama-agama dan ideologi lainnya dengan argument dan bukti-bukti kebenaran yang nyata. [4]

Lembaga pendidikan Islam sebagai wahana ilmiyah haruslah mampu di masa depan mencerminkan dan menerjemahkan kearifan Islam hingga semua aspek kehidupan terkawal dengan system Islami. Pesan tersirat dari ayat tersebut adalah agar para pengelola Lembaga pendidikan mengarahkan lembaganya menjadi produsen kader-kader yang mampu memenangkan Islam. Indicator kemenangannya adalah diterimanya system syariat Islam untuk mengatur dunia demi kabaikan seluruh manusia.

Inilah jalan Panjang pendidikan Islam yang akan ditempuh. Tidak diragukan lagi, bahwa perjalanan ini akan menemui banyak aral dan rintangan. Tidak dipungkiri pula bahwa jalan Panjang ini membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Oleh sebab itulah dibutuhkan kesungguhan niat dan kebulatan tekad agar visi dan misi pendidikan islam terwujud di kemudian hari. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan petunjuk. Semoga amal ibadah kita dalam dunia pendidikan diterima di sisi-Nya. Aamiin. Wallohu a’lam bis showab.

[1] Ibnu Katsir, Abul Fida Ismail al Dimasyqi, Tafsir Al Quran al ‘Adzim, (Beirut: Dar al Jiil, tt, tc) juz 4 hal 307.

[2] Al Qurthubi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Anshori, al Jami’ li Ahkam al Quran (Kairo: Dar al Hadits, tc, 2005 M/1426 H) juz 2, hal 544.

[3] Ibid.

[4] Al Thobari, AbuJa’far Muhammad bin Jarir, Jami’ al Bayan ‘an Ta’wil Ayi al Quran (Kairo: Dar Hajr, cet I, tahun 1422 H/ 2001 M) Juz 21 Hal 320

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *