Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولواديه-
Badar merupakan salah satu wilayah yang terletak di barat daya kota Madinah berjarak sekitar 150 km darinya. Di masa jahiliyah, wilayah ini sering dijadikan sebagai jalur utama perdagangan orang-orang Arab menuju pasar Bushro Syam. Tempat ini dikenal dengan pertaniannya dan juga memiliki sumur air yang juga dikenal sebagai sumur Badar. Konon nama Badar dinisbahkan ke tempat ini karena seseorang yang tinggal pertama kali di daerah tersebut bernama Badar bin Yakhlud bin Nadhr bin Kinanah[1].
Setelah hadirnya dakwah Islam yang diserukan oleh Nabi Muhammad ﷺ tempat ini berubah menjadi situs paling bersejarah sebagai saksi bisu peperangan besar antara kaum muslimin dan kaum kafirin. Perang yang mempertemukan antara pembela kebenaran dan pembela kedzoliman. Berakhir dengan kemenangan telak bagi kaum mukminin para pemegang panji tauhid.
Ramadhan tahun kedua Hijriyah merupakan salah satu rangkaian tonggak sejarah keemasan kaum muslimin. Di bulan tersebut bertemunya dua perintah syariat dari Allah ﷻ yaitu puasa dan jihad. Untuk kali pertama kaum muslimin harus menahan lapar dan dahaga semenjak awal bulan tersebut. Kemudian di pertengahan bulan yaitu di tanggal 17 Ramadhan mereka harus menghadapi dan melawan keganasan kekuatan kafir Quraisy di lembah Badar.
Dari tinjauan tempat dan waktu, Badar dan Ramadhan bukanlah suatu perkara kebetulan. Namun hakikatnya adalah bagian skenario besar dari Allah ﷻ Sang Pencipta Alam semesta untuk memberikan pelajaran berharga bagi umat manusia pada umumnya dan untuk kaum muslimin pada khususnya. Kemenangan besar yang diraih kaum muslimin pada saat itu -dengan kondisi mereka sedang berpuasa dan semangat jihad fi sabilillah yang menghunjam di dada- mengirimkan sebuah pesan penting yang harus ditangkap oleh generasi selanjutnya, bahwa antara puasa dan jihad ternyata memiliki korelasi yang tidak terpisahkan.
Kehadiran Ramadhan di setiap tahunnya hakikatnya menanamkan spirit Badar pada setiap dada kaum muslimin di setiap generasinya. Spirit yang akan terus membina kejujuran iman hingga puncaknya menggapai ridho Ar Rohman.
Spirit Badar merupakan representasi dari semangat pembelaan, loyalitas, kecintaan, pengorbanan dan keberpihakan kepada kebenaran yang datang dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ. Hamba beriman akan senantiasa memfokuskan hidupnya demi penghambaan kepada Allah ﷻ dan menunaikan misi besar yang diembankan yaitu memenangkan agama Allah (Islam) di atas seluruh agama-agama lain.
Keteladanan spirit Badar tergambar dalam diri para sahabat nabi dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Saat kondisi yang genting dan mencekam mulai menghantui pasukan kaum muslimin. Setelah sebelumnya mendapatkan kabar informasi intelejen yang menyebutkan pasukan kafir quraisy dengan kekuatan 1000 personel tempur telah bergerak menuju Badar. Saat itu kaum muslimin masih berada di lembah Dzafiran. Dengan sigap Nabi Muhammad ﷺ langsung mengadakan rapat militer yang dihadiri oleh para pemimpin kalangan Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar Al Shiddiq mengusulkan untuk menghadapi kekuatan kaum kafir Quraisy dan menegaskan kepada Nabi bahwa para sahabat Muhajirin akan senantiasa membersamai Nabi. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Umar bin Khattab. Sementara Miqdad bin Al Aswad mempertegas posisi kaum muhajirin dengan perkataannya: “Wahai Rasulullah, jalankan apa yang telah Allah tunjukkan kepadamu, kami akan senantiasa bersamamu. Demi Allah, kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti perkataan kaum Bani Israil kepada Nabi Musa “karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja” [QS. Al Maidah: ayat 24]. Akan tetapi kami akan mengatakan pergilah engkau berperang bersama Tuhanmu sesungguhnya kami juga berperang bersamamu, demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan kebenaran, Jikalau engkau menginginkan berjalan bersama kami menuju wilayah Barkil Ghimad[2] pastilah kami akan membersamaimu hingga engkau sampai kepadanya”. Lalu Nabi ﷺ pun senang dan bangga melihat semangat juang dari para sahabatnya kaum muhajirin. Kemudian beliau pun mendoakan untuk mereka.
Saat itu jumlah kaum muhajirin sangatlah sedikit. Mereka hanya berjumlah 82 orang. Sementara jumlah terbanyak dari pasukan kaum muslimin adalah kaum Anshar. Mereka berjumlah 231 orang. Lalu Nabi Muhammad ﷺ mengarahkan pendangan beliau ke arah para pemimpin Anshar seraya berkata: “Wahai manusia, beritahukanlah kepadaku apa pendapat kalian?”.
Perkataan Nabi tersebut difahami secara cerdas oleh Sa’ad bin Mu’adz salah seorang tokoh pemimpin suku Aus. Beliau berkata: “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau menginginkan kami semua”. Nabi ﷺ menjawab: “Iya benar”. Lalu Sa’ad bin Mu’adz berkata: “Sunnguh kami telah beriman kepadamu, kami juga telah membenarkanmu, kami telah bersaksi bahwa apa yang engkau bawa adalah kebenaran. Dan kami telah memberikan sumpah setia dan janji loyalitas kami kepada engkau untuk tetap mendengar dan taat. Maka laksankanlah –wahai Rasulullah- apa yang engkau inginkan. Sungguh Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran jikalau engkau menghendaki untuk menyuruh kami menyeberangi lautan pastilah kami akan menyeberanginya bersamamu, tidak ada seorangpun dari kami yang mundur. Dan kami tidak membenci jikalau engkau dengan kami bertemu musuh esok hari. Sesungguhnya kami adalah kaum yang bersabar saat perang, jujur saat bertemu, semoga Allah memperlihatkan kepadamu dari kami apa yang membuat bahagia di kedua matamu, maka teruslah bergerak bersama kami wahai Rasulullah di atas keberkahan dari Allah”.
Ketika mendengar pernyataan dari Sa’ad bin Mu’adz, bergembiralah hati Rasulullah ﷺ, kemudian beliau berseru kepada seluruh pasukan: “bergeraklah kalian semua dan bergembiralah, sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku kemenangan terhadap salah satu dari dua kelompok (pasukan Abu Sufyan atau pasukan Abu Jahal). Demi Allah, sungguh saat ini seakan-akan aku melihat kekalahan kaum musyrikin”.
Dengan izin dan pertolongan dari Allah, tepat di tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah di lembah Badar, Rasulullah dan pasukan kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar) berhasil mengalahkan kekuatan tempur kaum kafir Quraisy. Di peperangan itu pula matinya fir’aunnya umat ini yaitu Abu Jahal bin Hisyam di tangan dua anak muda Anshor yang bernama Mu’adz bin ‘Amr bin al Jamuh dan Mu’awwidz bin ‘Afra’.
Dari sinilah kita memahami korelasi antara puasa Ramadhan dan meletusnya perang Badar. Agar kita semua terlahir kembali menjadi generasi Islam yang mewarisi spirit Badar di setiap zamannya. Generasi yang siap sedia untuk memberikan pengorbanan terbaik di jalan Allah serta menunjukkan kejujuran Iman dengan memberikan sikap loyalitas untuk Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Wallohu a’lam bis showab.
Referensi:
[1] Syihabuddin Abu Abdillah Yaqut bin Abdillah al Hamawy, Mu’jam al Buldan (Beirut: Dar Shodir, tahun 1397 H-1977 M, tc) jilid 1 hal 357
[2] Sebuah tempat yang berjarak lima malam perjalanan dari kota Makkah ke arah laut Merah.
No Comments