Oleh: Abu Athif, Lc. –غفر الله له ولواديه-
Suatu ketika salah seorang ulama terkemuka di zaman generasi tabi’in yang bernama Imam Yahya bin Ya’mar bersama salah satu sahabatnya Humaid bin Abdur Rahman al Humairi hendak pergi berhaji ke kota Makkah. Beliau berdua berencana untuk bertanya kepada salah seorang sahabat Nabi yang mereka jumpai di sana terkait isu pengingkaran takdir yang dihembuskan oleh seorang tokoh yang bernama Ma’bad al Juhani di kota Bashrah-Iraq.
Sesampainya di kota Makkah beliau berdua bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Khattab. Lalu Imam Yahya bin Ya’mar berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdur Rahman (Abdullah bin Umar), sesungguhnya telah muncul di tengah manusia orang-orang yang membaca al Quran dan mendalami ilmu dan mereka menganggap bahwa tidak ada takdir dan meyakini bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah sesuatu yang baru”. Lalu Abdullah bin Umar bin Khattab berkata: “Jika engkau bertemu dengan mereka, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Sungguh demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, andaikan mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu mereka dermakan niscaya tidak akan diterima oleh Allah ﷻ hingga mereka beriman kepada takdir”. Kemudian Abdullah bin Umar meriwayatkan sebuah hadits dari ayahnya Umar bin Khattab terkait dengan hadits Jibril yang mengajarkan tentang pokok-pokok ajaran Islam, di antaranya adalah terkait dengan rukun iman yang enam. [Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam, hal 34-35].
Potongan hadits Jibril yang menyebutkan tentang enam rukun iman adalah sebagai berikut:
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلِإيْمَانِ، قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ باِللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنُ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، قَالَ: صَدَقْتَ (رواه مسلم)
Artinya: Jibril berkata: “Kabarkan kepadaku tentang Iman”. (Nabi Muhammad ﷺ) bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk”. Jibril berkata: “Engkau benar”. [HR. Muslim].
Dari sini seorang mukmin harus memahami bahwa iman kepada Allah tidak sah hingga dirinya beriman kepada takdir-Nya. Dengan meyakini bahwa segala yang ada di alam semesta ini tidak lepas dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ. Hal ini ditegaskan oleh Allah ﷻ dalam banyak ayat al Quran, salah satunya adalah firman-Nya:
﴿إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ﴾
Artinya: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). [QS. Yasiin: ayat 12]
Begitu juga dalam banyak hadits, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan tentang iman kepada takdir salah satunya dalam sabda beliau:
كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، قالَ: وَعَرْشُهُ علَى المَاءِ. (رواه مسلم)
Artinya: “Allah telah menetapkan takdir-takdir seluruh makhluq limu puluh tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi”. Beliau bersabda: “Dan ‘Arsy-Nya di atas air”. [HR. Muslim]
Dalam mengimani takdir, ahlus sunnah wal jama’ah berbeda dengan dua kelompok sesat yaitu jabariyah dan qodariyah. Jabariyah menganggap bahwa semua makhluq khususnya manusia hanya menjalankan takdir tanpa ada ikhtiyar seperti halnya sehelai bulu yang terhembus oleh angin. Ke mana pun arah hembusan angin maka sehelai bulu itu mengikutinya. Kelompok ini meniadakan ikhtiyar dan kehendak makhluq. Tentu saja pemikiran ini sangat menyimpang, karena menganggap bahwa semua kejadian maksiat disandarkan kepada Allah. Ini adalah pemikiran iblis yang menyandarkan kemaksiatan yang dia lakukan sebab takdir Allah.
Pemikiran sesat ini akan membawa manusia yang suka bermaksiat tidak bisa dijerat hukum. Mereka berdalih bahwa kejahatannya telah ditakdirkan oleh Allah dan mereka tidak punya pilihan. Tentu saja pemikiran ini berdampak pada hilangnya keimanan mereka kepada keadilan Allah ﷻ. Maha Suci Allah dari apa yang mereka tuduhkan dan sangkakan.
Adapun titik ekstrim yang berlawanan dengan jabariyyah adalah kelompok qodariyah. Kelompok ini meniadakan konsep takdir. Dengan kata lain, manusia memiliki kehendak sendiri dan menciptakan perbuatannya sendiri. Tentu saja pemikiran ini sangatlah berbahaya dan bisa menjadi penyebab batalnya keimanan mereka kepada Allah ﷻ. Karena mereka telah mensejajarkan diri mereka dengan Allah dalam hal penciptaan amal mereka sendiri. Ini adalah perbuatan syirik. Di tambah lagi, mereka meyakini bahwa Allah tidak mengetahui apa yang akan diperbuat oleh hamba-Nya kecuali jika sudah terjadi. Maha Suci Allah dari perkataan dan anggapan mereka.
Adapun ahlus sunnah wal jama’ah mengimani takdir Allah dengan empat kerangka keyakinan. Keempat kerangka keyakinan itu adalah:
1. Ilmu (العلم). Maksudnya adalah keyakinan dan keimanan bahwa Allah Maha Mengetahui tentang apa yang tejadi di alam semesta ini secara kesuluruhan dan rinci. Seperti yang telah disebutkan dalam banyak ayat al Quran, di antaranya adalah firman-Nya:
﴿وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ﴾
Artinya: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)”. [QS. Al An’am: ayat 59].
2. Kitabah (الكتابة). Maksudnya adalah keimanan dan keyakinan bahwa Allah ﷻ telah menuliskan semua takdir makhluq-Nya. Dalil yang menunjukkan kebenaran ini telah disebutkan dalam Al Quran di antaranya adalah firman Allah ﷻ:
﴿إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ﴾
Artinya: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh). [QS. Yaasiin: ayat 12]
Begitu pula dengan firman-Nya:
﴿قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي فِي كِتَابٍ لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى﴾
Artinya: “Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?”. Musa menjawab: “Pengetahuan tentang itu ada di sisi Tuhanku, di dalam sebuah kitab, Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa”. [QS. Thoha: ayat 51-52]
3. Masyiah (المشيئة). Maksudnya adalah mengimani dan meyakini bahwa semua yang terjadi berdasarkan pada kehendak Allah semata. Apa saja yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa saja yang tidak dikehendaki oleh Allah pasti tidak terjadi. Dalil yang menunjukkan kebenaran ini banyak disebutkan dalam Al Quran di antaranya adalah firman-Nya;
﴿تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ﴾
Artinya: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. [QS. Al Baqarah: ayat 253]
Begitu pula dengan firman-Nya:
﴿وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ﴾
Artinya: “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)”. [QS. Al Qashaah: ayat 68]
Dikuatkan pula dalam hadits Nabi ﷺ:
إنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِن أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ، ثُمَّ قالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ القُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا علَى طَاعَتِكَ. (رواه مسلم)
Artinya: “Sesungguhnya hati anak Adam semuanya berada di antara dua jari dari jari-jemari Ar Rahman seperti satu hati, Dia arahkan sebagaimana yang Dia kehendaki. Kemudian Rasulullah bersabda: Ya Allah Dzat Yang Maha Mengarahkan hati, arahkanlah hati kami di atas ketaatan kepada-Mu. [HR. Muslim]
4. Kholq (الخلق). Maksudnya adalah mengimani dan meyakini bahwa Allah telah mencipatakn semua mahluq-Nya dari dzatnya, sifatnya, gerakannya dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluq. Dalil yang menunjukkan tentang hal ini adalah firman Allah ﷻ :
﴿وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ﴾
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. [QS. Ash Shoffat: ayat 96]
Begitu pula dengan hadits Nabi ﷺ :
:”إنَّ الله صَانِعُ كُلِّ صَانعٍ وصَنْعَتِه” (رواه الحاكم والبيهقي وابن حبان)
Artinya: Sesungguhnya Allah adalah Pencipta tiap makhluq dan perbuatannya”. [HR.Hakim, al Baihaqi dan Ibnu HIbban].
Beriman kepada qodho dan qodar tidak menghilangkan ikhtiyar
Tanda iman seseorang kepada takdir adalah ketika dirinya berikhtiyar semaksimal mungkin. Karena seorang mukmin yakin bahwa Allah tidak akan pernah mendzolimi makhluq-Nya. Wujud keyakinan itu ditampakkan dengan beramal dan berikhtiyar secara maksimal dan optimal dalam menggapai kemanfaatan dan kemaslahatan bagi kehidupan di dunia dan akhirat.
Nabi ﷺ menganjurkan kepada kita untuk selalu berikhtiyar secara maksimal dan optimal. Sebagaimana yang disebutkan dalam salah satu hadits:
الْمُؤْمِنُ القَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إلى اللهِ مِنَ المُؤْمِنِ الضَّعِيفِ، وفي كُلٍّ خَيْرٌ. احْرِصْ علَى ما يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ باللَّهِ وَلَا تَعْجِزْ، وإنْ أَصَابَكَ شَيءٌ، فلا تَقُلْ: لو أَنِّي فَعَلْتُ كانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَما شَاءَ فَعَلَ؛ فإنَّ (لو) تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ. (رواه مسلم)
Artinya: Orang Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada orang mukmin yang lemah. Dan dalam setiap keduanya adalah kebaikan. Bersemangatlah engkau dalam perkara yang memberikan manfaat kepadamu, dan minta pertolongan kepada Allah serta janganlah lemah! Dan jika sesuatu menimpamu maka jangan berkata “seandainya aku melakukan ini pasti seperti ini dan itu” akan tetapi katakanlah: “Ketetapan Allah dan apa yang yang Allah kehendaki pasti terjadi”. Sesungguhnya kata “seandainya” membuka amalan setan. [HR. Muslim].
Buah manis dari iman kepada takdir
Tidaklah Allah ﷻ menurunkan syari’at-Nya melainkan pasti di dalamnya terdapat banyak hikmah dan kebaikan untuk para hamba-Nya. Tidak terkecuali dalam perintah beriman kepada takdir-Nya. Berikut ini beberapa buah manis dari beriman kepada qodho dan qodar Allah ﷻ:
1. Mudah bersikap ridha dan berlapang dada dalam menyikapi setiap peristiwa yag terjadi dalam kehidupan. Karena seorang mukmin dan mukminah memahami bahwa apa yang terjadi dalam kehidupannya telah ditetapkan dengan kadar yang tepat untuk hidupnya.
Semuanya yang terjadi akan menjadi kebaikan dalam kehidupan orang beriman. Sebagaimana yang disabdakan oleh baginda Nabi Muhammad ﷺ :
عَجَبًا لأَمْرِ المُؤْمِنِ، إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وليسَ ذاكَ لأَحَدٍ إلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إنْ أصابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكانَ خَيْرًا له، وإنْ أصابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكانَ خَيْرًا له (رواه مسلم)
Artinya: Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya seluruh perkaranya adalah kebaikan, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali hanya bagi seorang mukmin. Jika dia mendapatkan sesuatu yang membahagiakan dia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan untuknya. Dan jika dia tertimpa keburukan dia bersabar, maka hal itu menjadi kebaikan untuknya. [HR. Muslim]
2. Selamat dari penyakit sosial seperti hasad, dendam dan lainnya. Karena seorang hamba beriman meyakini bahwa rizki setiap makhluq sudah diatur dan ditetapkan oleh Allah. Maka tidak perlu dirinya bersikap hasad kepada orang lain. Justru yang terjadi ketika seorang hamba beriman melihat saudaranya mendapatkan nikmat maka dirinya bertambah bahagia dan mendoakan keberkahan untuk saudaranya.
Begitu pula saat sang hamba tidak mendapatkan suatu nikmat maka dirinya tetap bersyukur bahwa Allah masih menurunkan nikmat-nikmat lain yang tak terhitung.
3. Bertawakal secara benar kepada Allah. Dengan beriman kepada takdir, seorang hamba akan sungguh-sungguh dalam beramal dan berikhtiyar. Ketawakalan sebenarnya adalah penyerahan diri sepenuhnya seorang hamba kepada takdir Allah setelah upaya dan usaha yang maksimal disertai dengan bersikap husnudzon kepada Allah ﷻ.
4. Menumbuhkan rasa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan tidak berpaling dari hukum-hukum-Nya. Karena iman kepada takdir membawa seorang hamba untuk menapaki jalan lurus berupa syari’at Allah (Islam). Hanya dengan syari’at Islam seorang hamba terdidik untuk berlapang dada dan tabah menghadapi lika-liku kehidupan yang sejatinya adalah ujian.
5. Menumbuhkan sikap optimis dan kesungguhan dalam mengejar kebaikan dunia dan akhirat. Karena iman kepada takdir membimbing hamba selalu bersikap husnudzon kepada Allah.
6. Menumbuhkan tingginya cita-cita dan menghempaskan keputus-asaan. Dengan beriman kepad takdir, seorang hamba juga diajak untuk beriman kepada janji-janji Allah. Dari sini lah seorang hamba akan melejitkan potensi dirinya demi menggapai prestasi tertinggi di hadapan Allah ﷻ, Rasul-Nya ﷺ dan kaum mukminin.
7. Menjaga kemuliaan diri dan hadirnya rasa qona’ah dalam kehidupan. Dengan iman kepada takdir, seorang hamba meyakini bahwa apa yang sudah ditetapkan untuk dirinya dari mulai rizkinya hingga hidup dan matinya tidak akan dipengaruhi oleh pihak lain. Untuk itulah dirinya senantiasa menyandarkan diri kepada Allah ﷻ bukan kepada makhluq yang lemah. Saat hamba terlepas dari belenggu ketergantungan kepada makhluq dan menetapkan sandaran hidupnya hanya kepada Allah maka saat itulah dirinya menemukan kemuliaan diri yang tak akan pernah terbeli dengan apa pun.
8. Tergapainya ketenangan hati dan jiwa. Saat kebanyakan manusia panik dengan buruknya situasi kehidupan, maka hamba beriman tidaklah demikian. Karena dirinya yakin bahwa semua situasi dan kondisi yang terjadi tidak lepas dari takdir Allah. Dari sinilah hamba beriman meyakini bahwa apa pun yang terjadi terhadap dirinya akan menjadi kebaikan baginya di dunia dan akhirat. Di saat seorang hamba memahami perihal ini, maka tenanglah hatinya.
Semoga Allah ﷻ menjadikan kita semua bagian dari hamba-hamba-Nya yang memiliki keimanan secara totalitas dan benar, khususnya dalam iman kepada takdir. والله أعلم بالصواب.
Sumber:
1. DR. Sa’id bin Musfir bin Mufrih al Qahthani, ‘Aqidah Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah ‘alaa Dhou al Kitab wa al sunnah (Makkah: Daar Thayyibah al Khadra, cetakan I, tahun 1422 H/ 2001 M)
2. Imam al Qadhi Ali bin Ali bin Muhammad bin Abi al ‘Izz al Hanafi, Syarh al ‘Aqidah al Thohawiyah (Kairo: Daar al Ghadd al Jadid, cetakan I, tahun 1427 H/ 2006 M)
3. Imam Ibnu Rajab al Hanbali, Jami’ al ‘Ulum wa al Hikam (Kairo: Daar al ‘Aqidah, cetakan I, tahun 1422 H/ 2002M)
No Comments