HikmahKajian
Trending

Tiga Tipe Manusia Dalam Menerima Petunjuk Al Quran

 

Oleh: Abu Athif, Lc. -غفر الله له ولواديه-

Syariat puasa di bulan Ramadhan memiliki korelasi yang erat dengan Al Quran. Sebagaimana yang termaktub dalam Firman Allah ﷻ :

﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ۝﴾ (البقرة : ۱٨٥)

“bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”. [QS. Al Baqarah: ayat 185]

Hadirnya momentum Ramadhan hakikatnya mengajak manusia untuk mempersiapkan diri menerima Al Quran sebagai petunjuk dan panduan hidup. Karena al Quran tidaklah bisa diterima kecuali oleh orang-orang yang mempersiapkan dirinya dengan kebersihan jiwa dan raga melalui ibadah puasa.

Petunjuk Allah ﷻ berupa wahyu Al Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ sejatinya menjadi kebutuhan primer bagi kehidupan manusia. Wahyu Allah yang terdiri dari Al Quran dan Hadits Nabi, hakikatnya memuat ilmu yang dibutuhkan oleh manusia. Tidak ada yang lebih dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan di dunia ini dari pada petunjuk ilmu yang membawa mereka kepada kehidupan yang lurus dan bermartabat.

Dengan hadirnya petunjuk ilmu inilah seharusnya manusia lebih berbahagia melebihi kebahagiaan mereka ketika mendapatkan harta dan materi duniawi. Allah tegaskan kebahagiaan ini melalui firman-Nya:

﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ۝ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ۝﴾ (يونس: ٥۷ – ٥٨)

Artinya: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [QS. Yunus: ayat 57-58]

Tidak mengherankan jika Imam Ahmad bin Hanbal –رحمه الله- pernah berkata tentang hajat manusia terhadap petunjuk ilmu:

“النَّاسُ إِلَى الْعِلْمِ أَحْوَجُ مِنْهُمْ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، لِأَنَّ الرَّجُلَ يَحْتَاجُ إِلَى الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ فِي الْيَوْمِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ، وَحَاجَتُهُ إِلَى الْعِلْمِ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ”

Artinya: “Manusia lebih membutuhkan ilmu melebihi kebutuhannya terhadap makan dan minum, karena seseorang membutuhkan makan dan minum hanya sekali atau dua kali dalam sehari, sementara kebutuhannya terhadap ilmu adalah setiap hitungan nafasnya”.

Namun dengan turunnya petunjuk ilmu (Al Quran dan Hadits Nabi) tidak serta merta seluruh manusia menerimanya dan mengambil manfaat darinya. Ada di antara mereka yang menerima dan tidak sedikit pula yang bersikap menolak serta mengabaikannya.

Gambaran pentingnya petunjuk ilmu dari Allah ﷻ bagi kehidupan manusia dan tipe mereka dalam menerimanya disebutkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sebuah haditsnya:

عن أبي موسى الأشعري -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله ﷺ : مَثَلُ ما بَعَثَنِي اللَّهُ به مِنَ الهُدَى والعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أصابَ أرْضًا، فَكانَ مِنْها نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ الماءَ، فأنْبَتَتِ الكَلَأَ والعُشْبَ الكَثِيرَ، وكانَتْ مِنْها أجادِبُ، أمْسَكَتِ الماءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بها النَّاسَ، فَشَرِبُوا وسَقَوْا وزَرَعُوا، وأَصابَتْ مِنْها طائِفَةً أُخْرَى، إنَّما هي قِيعانٌ لا تُمْسِكُ ماءً ولا تُنْبِتُ كَلَأً، فَذلكَ مَثَلُ مَن فَقُهَ في دِينِ اللَّهِ، ونَفَعَهُ ما بَعَثَنِي اللَّهُ به فَعَلِمَ وعَلَّمَ، ومَثَلُ مَن لَمْ يَرْفَعْ بذلكَ رَأْسًا، ولَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الذي أُرْسِلْتُ بهِ. -رواه البخاري ومسلم-.

Dari Abu Musa Al Asya’ari -semoga Allah meridhoinya- berkata: Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Perumpamaan apa yang Allah utus diriku dari petunjuk dan ilmu seperti hujan deras yang mengenai tanah. Maka ada jenis tanah yang baik lagi bersih menyerap air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Dan ada juga jenis tanah yang kering menampung air, lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya, lalu mereka meminum darinya, mengairi ladangnya dan bercocok tanam. Dan air hujan itu juga mengenai jenis tanah lain yang tandus dan kering tidak bisa menahan air dan juga tidak menumbuhkan tumbuhan. Maka demikianlah perumpamaan orang yang faham agama Allah, dia mendapatkan manfaat dari apa yang aku diutus oleh Allah dengannya, dirinya mengetahui dan mengajarkannya (kepada orang lain), dan perumpamaan bagi orang yang tidak mengangkat kepala dengannya dan juga orang yang tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya”. [HR. Bukhari dan Muslim].

Dalam sabda Nabi ﷺ ini mengandung dua permisalan yang memiliki korelasi erat dengan apa yang tejadi dalam kehidupan manusia dan interaksinya dengan petunjuk Allah ﷻ. Pertama tentang permisalan petunjuk ilmu sebagai air hujan dan kedua permisalan tipologi manusia dengan jenis tanah yang menerima air hujan tersebut.

Permisalan yang begitu mendalam tentang urgensi petunjuk ilmu terhadap kehidupan manusia diungkapkan dalam hadits ini. Sesungguhnya petunjuk ilmu memiliki arti penting yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia yang tidak bisa digantikan dengan lainnya seperti halnya hujan bagi keberlangsungan hidup tanah bumi. Bisakah kita bayangkan jika tanah yang kita pijak tidak pernah menerima tetesan hujan sekalipun? Tentu saja bayangan kekeringan dan kematian makhluq di atasnya menjadi pemandangan mengerikan. Begitulah hati dan jiwa manusia saat mengalami kekeringan dari curahan hujan petunjuk dari Allah ﷻ.

Tidak ada kebutuhan yang bisa menjaga kebaikan hati dan jiwa seseorang selain dari pada petunjuk ilmu. Kebutuhan ruhani inilah yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi setiap insan agar selalu terpenuhi.

Adapun permisalan yang kedua dalam hadits ini terkait dengan tipologi manusia dalam menerima petunjuk diserupakan dengan tipologi tanah ketika menerima air hujan. Tipe pertama adalah tanah yang baik dan mampu menyerap air hujan serta menumbuhkan tanaman dan tumbuhan di atasnya. Inilah perumpamaan orang yang sampai kepadanya petunjuk ilmu lalu menjaganya, kemudian hiduplah hatinya. Dilanjutkan dengan mengamalkan petunjuk tersebut serta mengajarkannya kepada orang lain. Maka inilah orang yang mengambil manfaat dan bermanfaat bagi sekitarnya.

Tipe pertama ini direpresentasikan oleh para ulama robbani yang mampu menjaga keotentikan ilmu dan memahaminya serta mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak berhenti sampai di sini saja, mereka juga mampu menumbuhkan generasi penerus yang melanjutkan tongkat estafet perjuangan menyebarkan petunjuk ilmu dari masa ke masa.

Karakter ulama robbani juga disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

﴿مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ۝﴾ (آل عمران: ۷٩)

Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [QS. Ali Imran: ayat 79].

Tipe kedua adalah tanah yang kering yang hanya bisa menampung air hujan. Jenis tanah ini meskipun tidak bisa mengambil manfaat dari air hujan untuk dirinya sendiri namun tetap memberikan manfaat bagi pihak lain. Fungsinya adalah sekedar menjadi penampungan air hujan. Dari sinilah binatang ternak bisa meminum darinya, para petani bisa mengalirkan airnya ke sawah dan ladang mereka.

Imam An Nawawi menjelaskan bahwa tipe tanah ini merupakan Gambaran bagi orang yang hanya bisa menjaga keotentikan ilmu namun belum memiliki pemahaman yang komprehensif. Golongan kedua ini belum memiliki kemampuan untuk berijtihad dan mengambil Kesimpulan hukum dan makna. Mereka menjadi wadah ilmu yang menanti datangnya seorang penuntut ilmu agar dipelajari ilmu tersebut. Mereka masih memberikan kontribusi nyata dalam penyebaran ilmu.

Adapun jenis tanah ketiga adalah tanah yang kering kerontang, tidak bisa menampung air hujan dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Inilah perumpamaan bagi orang yang tidak mengangkat kepala dengannya dan juga orang yang tidak menerima petunjuk Allah yang Nabi Muhammad ﷺ diutus dengannya.

Tipe manusia ketiga ini direpresentasikan oleh orang-orang yang enggan menyibukkan diri dengan petunjuk ilmu. Bahkan ada yang berani secara lancang menolak kebenaran petunjuk dari Allah ﷻ. Orang-orang seperti ini digambarkan dalam ayat al Quran seperti orang yang buta, tuli dan bisu. Sebagaimana yang termaktub dalam Al Quran:

﴿وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُونَ۝﴾ (البقرة: ۱۷۱)

Artinya: Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.[QS. Al Baqarah: ayat 171]

Dalam ayat lain, Allah ﷻ menyebutkan bahwa orang-orang yang enggan menerima petunjuk kebenaran maka derajatnya tidak lebih baik dari Binatang ternak. Allah ﷻ berfirman:

﴿وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ۝﴾ (الأعراف: ۱۷٩)

Artinya: Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. [QS. Al A’raf: ayat 179]

Imam Yahya bin Syaraf An Nawawi mengatakan: “Dalam hadits ini terdapat ragam ilmu yang banyak di antaranya adalah ilmu permisalan. Darinya menunjukkan keutamaan ilmu dan aktivitas mengajarkannya serta kuatnya anjuran untuk menyibukkan diri dengan dua perkara itu, begitu pula terkandung di dalamnya celaan terhadap sikap berpaling dari ilmu”.

Dari ketiga tipe manusia dalam menerima petunjuk Al Quran tersebut, di tipe manakah kita? Semoga Ramadhan tahun ini Allah menjadikan kita bagian dari golongan manusia yang berpegang teguh kepada petunjuk Al Quran dan mampu untuk mengambil manfaat darinya, menyebarkan ilmunya dan memperjuangkannya agar menjadi pedoman hidup bagi seluruh manusia. Aamiin.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button